‘’Mix Policy Inward Looking and Outward Looking’’
Oleh: Fauzi Aziz
PERTAMA, jika anda pencinta sepakbola, maka judul opini ini adalah semacam strategi permainan pola 4-3-3. Esensinya adalah mempunyai benteng pertahanan yang kokoh dan di lain pihak mempunyai kekuatan daya dobrak yang solid untuk menjebol gawang lawan dan akhirnya dapat menjadi pemenang.
KEDUA, mix policy antara inward looking and outward looking kurang lebih merupakan bauran kebijakan untuk memperkuat proses transformasi ekonomi. Fakta yang kita rekam hingga kini seperti itu gambar besarnya. Ada substitusi impor dan pada saat yang sama harus melakukan promosi ekspor.
Dalam strategi sepakbola modern hingga kini kurang lebih adalah pola 4-3-3. Indonesia sebagai emerging economy saat ini tengah berada dalam siklus melakukan transformasi ekonomi melalui pola industrialisasi. Pola mix policy seperti yang penulis tawarkan adalah yang idial dalam spektrum pembangunan industri nasional dewasa ini. Konsep dasar pemikirannya dalam kerangka kerja makro ekonomi adalah menghemat penggunaan devisa di satu pihak dan meningkatkan pengumpulan cadangan devisa hasil ekspor sebanyak mungkin di lain pihak.
Target makronya adalah menciptakan surplus ekspor bukan sebaliknya menjadi surplus impor atau dengan kata lain, neraca dagangnya menjadi defisit. Target mikronya juga harus lebih terukur yaitu produktifitasnya harus meningkat agar produk dan jasa yang dihasilkan kompetitif di pasar dalam negeri maupun ekspor.
KETIGA, itu semua adalah pakem besarnya yang harus di framing dalam satu kesatuan kerangka kerja konseptual maupun kerangka kerja operasional. Sebagian ahli ekonomi pembangunan dan manajemen pembangunan, akhirnya memberikan sebuah policy issue bahwa investasi, industri dan perdagangan hakekatnya berada dalam satu policy claster yang mereka sebut dengan istilah primary policy. Dalam hubungan konsep mix policy antara inward looking dan outward looking, maka konsep ini berada dalam balutan primary policy tersebut.
Semoga Perppu nomor 2 tahun 2022 tentang cipta kerja yang dikontraversialkan banyak kalangan dapat mengakomodasi kebutuhan politik ekonomi dan industri yang berbasis mix policy dan primary policy sebagai satu kesatuan pikir dan satu kesatuan tindak.
Menjadi Berat
KEEMPAT, Indonesia selalu membuat kebijakan yang terfragmentasi sehingga selalu memunculkan catatan kritis bahwa akibatnya mewujudkan sistem ekonomi nasional yang efisien nyaris tidak pernah tercapai. Buktinya keluhan tentang high cost economy masih muncul berulang dalam diskursus tentang ekonomi politik.
Dampak dari situasi ini adalah peran kebijakan makro ekonomi menjadi berat bebannya karena selalu dituntut untuk memberikan insentif dan stimulus fiskal maupun moneter. Artinya kebijakan makro ekonomi diharapkan dapat menjadi dewa penyelamat akibat terjadinya fragmentasi kebijakan sektoral.
Sebab itu, azas kepastian hukum dalam aktivitas doing business menjadi perhatian Bank Dunia yang dalam laporannya beberapa tahun lalu menempatkan bahwa faktor stabilitas politik dan keamanan serta kepastian hukum ditempatkan pada nomor urut 1 dan 2 yang mempengaruhi pembentukan iklim bisnis yang kondusif. Kalau tidak salah, daya tarik insentif pajak hanya berada di urutan ketujuh.
KELIMA, kita tengah membangun portofolio ekonomi dan industri agar mampu menjadi market leader di pasar manapun. Menguasai pasar dalam negeri penting. Tapi menjadi market leader di pasar dunia jauh lebih penting. Karena itu, konsep mix policy antara inward looking and outward looking menjadi pilihan kebijakan yang tepat karena kita yakini bahwa industrialisasi menjadi salah satu rute yang harus dilalui oleh semua negara untuk mencapai pendapatan per kapita yang tinggi. Namun demikian catatan kritisnya harus tetap perlu diingatkan kembali bahwa sekalipun pasar domestik kekuatan daya serapnya besar, tapi energinya tidak cukup besar guna mendukung efisiensi skala produksi sektor industrinya.
Seiring dengan itu, maka baik produk industri hulu, antara dan hilir harus juga bisa menyumbang DHE dalam jumlah besar untuk mendukung tercapainya tingkat pendapatan nasional yang tinggi. Dengan cara pandang ini, maka dapat dicatat bahwa inward looking pada dasarnya sebuah ikhtiar untuk melakukan investasi di sektor industri hulu, antara dan hilir. Atau terutama untuk mengisi struktur industri yang masih kosong.
Sedangkan outward looking hakekatnya adalah merupakan suatu ikhtiar agar output produksinya dapat mengisi ceruk pasar global dalam volume dan nilai yang besar, sekurang-kurangnya bisa mencapai 50-60% terhadap PDB. (penulis adalah pemerhati ekonomi dan industri tinggal di Jakarta)