“Mengindustrikan” Hasil Litbang
Oleh: Fauzi Aziz

Fauzi Aziz
LEMBAGA riset dan pengembangan di republik ini sangat banyak, tersebar di berbagai lembaga pendidikan, kementerian/lembaga dan masyarakat. Karya-karya yang dihasilkan juga sudah sedemikian banyak dan berkualitas. Sebagian sudah siap untuk “diindustrialisasikan”, sudah dipatenkan, dan sebagian lagi masih baru sampai tahap prototype.
Para peneliti senior dan yang muda terus bergelut dengan kemampuan akademik yang dikuasainya untuk berkarya. Namun, tidak semuanya bisa berlabuh di dunia industri, karena banyak faktor penghambatnya. Hal yang paling netral menjadi penyebabnya adalah barangkali bangsa kita memilki budaya industri yang rendah.
Budaya industri itu pada dasarnya budaya riset dan pengembangan. Jika kita bermimpi ingin membuat negeri ini menjadi negara industri maju baru di masa yang akan datang, maka “mengindustrikan” hasil litbang menjadi sebuah keniscayaan. Kerangka regulasi, kebijakan, dan program pemerintah harus mampu menstimulasi agar hasil litbang dapat berlabuh di pelabuhan yang tepat, yaitu kegiatan industri. Kalau berlabuhnya di institusi keuangan atau institusi dagang, maka pemerintah berarti tidak berhasil menstimulasi dengan baik.
Pemerintah berarti sadar atau tidak hanya menstimulasi budaya dagang dan investasi, belum sampai pada tahap menstimulasi budaya industri. Apa yang sekarang dilakukan oleh Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, dan BKPM, pada dasarnya baru sampai pada tahap menstimulasi agar para investor nasional atau global menanamkan modalnya dengan membangun pabrik di sektor industri.
Arus utamanya belum dalam rangka melaksanakan misi pembangunan industri dalam pengertian yang paling hakiki, tetapi baru sampai pada tahap melaksanakan misi bagaimana agar investasi di sektor industri (baca: mendirikan pabrik) bisa terjadi.
Jepang, Korsel, India, dan China, adalah contoh negara-negara di Asia yang dianggap paling berhasil melakukan proses industrialisasi. Pendidikan, riset, dan pengembangan, serta kebijakan negara yang proindustrialisasi menjadi tulang punggung yang paling utama. Sistem ekonominya dibangun dari awal untuk benar-benar menjadi negara industri yang maju dan kuat, yang dapurnya didukung oleh kegiatan riset dan pengembangan yang maju.
Riset dan pengembangan berada dalam ring satu rumpun industri. Indonesia mengundang Jepang, Korea, dan negara lain masuk bukan untuk mengembangkan industri, tetapi untuk mengembangkan investasinya di Indonesia.
Kenapa demikian yang terjadi? Hal ini disebabkan budaya dagang yang tumbuh. Masyarakat kita bersifat konsumtif. Mencari saudagar lebih mudah daripada mencari industriwan di negeri ini. Yang banyak kita temukan di Indonesia adalah saudagar yang kemudian bisa membuat pabrik karena mereka berinvestasi.
Lebih Fokus
Tidak salah kerangka kebijakan yang dibangun oleh pemerintah selama ini, karena pemerintah lebih fokus ingin mengembangkan investasi ketimbang mengembangkan sektor industri. Indonesia, dengan berbagai instrumen kebijakan investasi, secara de facto lebih menghasilkan pertumbuhan output produksi nasional dalam persentase yang lebih besar di sektor non tradable ketimbang di sektor tradable.
Sejak tahun 70-an hingga sekarang, industrialisasi di Indonesia sangat bergantung pada teknologi impor,karena yang berindustri di negeri ini adalah para saudagar. Mereka tidak care dengan kegiatan riset dan pengembangan, karena teknologi bisa dibeli di mana saja dan kapan saja, dengan harga berapa pun, yang penting dolarnya murah.
Industri disebut berstruktur kuat bila kapabilitas teknologinya terus berkembang. Kekuatan inovasinya terus tumbuh. Inkubator industri dan bisnisnya terfasilitasi oleh pemerintah dengan efektif. Rantai inovasinya bekerja sesuai fungsi-fungsi, sejak proses riset hingga hasilnya dapat diindustrialisasi untuk menjawab kebutuhan pasar.
Bangsa ini memerlukan suatu technology effort, yang merupakan upaya teknologi agar proses manufaktur dapat berproses dengan cara yang paling menguntungkan. Industri di Jepang, dan Korea Selatan dewasa ini, sudah sampai pada tahap originaly brand manufacturing. Sekarang merek-merek mereka, seperti, Sony, Toyota, Mitsubishi, Samsung, Hyunday, Lucky Goldstar telah mendunia. Lain lagi Taiwan, negeri ini menjadi negara industri maju baru melalui pengembangan sektor IKM. Korea Selatan dibangun melalui proses konglomerasi.
Kalau kita baca di UU Nomor 17/2007 tentang RPJP, sebenarnya proses industrialisasi di Indonesia diamanatkan seperti yang terjadi di Taiwan, yakni “menjadikan sektor IKM sebagai basis industri nasional yang sehat, mampu tumbuh, dan terintegrasi dalam mata rantai pertambahan nilai dengan industri hilir dan industri besar”. Kalau bangsa ini memang diniatkan menjadi bangsa industri, maka kerangka regulasi dan kebijakan pemerintahnya harus diarahkan ke situ, bukan hanya sekadar investasi pendirian pabrik yang difasilitasi dan diharapkan menjadi mesin pertumbuhan ekonomi.
Industrialisasi memerlukan enterpreneurship yang merupakan elemen pokok inoivasi dan motor penggerak industrialisasi dan pertumbuhan ekonomi. Budaya industri yang harus dibangun oleh pemerintah. Budaya riset dan pengembangan harus difasilitasi maksimal agar output-nya dapat diindustrikan. Indonesia juga perlu memilki industri manufaktur nasional yang tahapannya bisa mencapai originaly brand manufacturing.
Kementerian Perindustrian memang terpaksa bekerja keras dan fokus agar mampu “mengindustrikan hasil litbang”. Kita harapkan setelah RUU Perindustrian berhasil diundangkan tahun ini dan Rencana Induk Pengembangan Industri juga rampung, maka Indonesia telah mempunyai kerangka regulasi dan kebijakan yang tepat untuk melakukan industrialisasi yang bukan hanya sekadar mengembangkan investasi di sektor industri. ***