Membangun Watak atas Kesadaran
Oleh: Soeparno
(Disarikan dari majalah Dwija Wara, Desember 1990)

KEKUATAN dalam pikiran manusia untuk kehidupan sehari-hari diputuskan oleh apa yang disebut dengan “aku” atau “ego”. Jika manusia menerima getaran dari keadaan di sekitarnya yang ditangkap oleh pancaindra, ia berkata: “aku melihat, aku mendengar, aku mengerti.” Jika nafsu manusia bergolak ke luar dirinya, nafsu selalu melewati “aku” dan berkata: “aku” ingin ini, “aku” mau itu. Jadi, “aku” lah yang membuat manusia merasa memiliki pribadi. (ref. Arsip Sarjana Budi Santoso, 1989,hlm.14)
Membangun watak agar manusia memiliki budi pekerti yang baik adalah upaya pengendalian “aku”. Sebab jika “aku” dibiarkan mengembangkan watak kodratinya yang hanya mementingkan diri sendiri, yang hanya mengerti butuhnya sendiri, suka merugikan orang lain, suka disanjung puji, dan lain sebagainya, maka jalan kehidupan bermasyarakat akan menjadi kacau, tidak tenteram, banyak terjadi perselisihan dan peperangan.
Watak kodrati manusia dari “aku” seperti di atas harus dirubah sedemikian rupa agar kehidupan manusia yang hidup bermasyarakat dapat hidup rukun, saling menghormati, tidak ada yang merasa dirugikan.
Dalam pembinaan budi pekerti “aku” harus diupayakan menjadi jujur dan luhur. Sebenarnya pendidikan budi pekerti sudah berjalan berabad-abad melalui pendidikan etiket dalam bangsa-bangsa yang beradab. Akan tetapi ketika pikiran manusia semakin pintar, kejujuran semakin hilang. “Aku” manusia senang berbohong, bahkan membohongi dirinya sendiri dan terjadilah tindakan korupsi, penyalahgunaan wewenang, pencurian, perampokan dan pelanggaran hukum di mana-mana.