Jalan Tol Dari Titik Nol

Loading

Oleh : Bambang Sutiyono

Ilustrasi

Ilustrasi

RIUH diberitakan di media lokal, bahwa jalan Tol Semarang-Solo melesak amblas. Jalan itu belum lagi genap sebulan selesai dibangun, kini kembali ditutup untuk umum karena amblas di km 5,6 ruas Pucung-Gedawang. Ironisnya, jalan itu amblas, setelah dilewati oleh ribuan sepeda onthel (angin), dalam rangka upacara syukuran selesainya pembangunan.

Laaah…!! sontak, tanggapan, kritikan, hujatan dan banyak lagi bentuk ekspresi ketidakpuasan, bertubi-tubi dialamatkan kepada pihak pembangun jalan tol itu. Sebagian datang dari para pakar teknik dan geologi; namun yang lucu-lucu justru diungkap spontan oleh masyarakat kebanyakan. Tengok saja, Wawasan (11 Maret 2011), “Apakah anggaran jalan Tol, juga ikut ambles, ya ..?” kata Nasirullah Guntur Surendra.

Dengan menyindir tanya, Titiek Es menulis, “DPU Bina Marga ayo gimana tuh, proyek baru jadi, kok sudah amblessss…..??” Tanggapan Fiezta, “huft..madetinnya gimana sih, tehniknya, ckckckck turut prihatin deh.” Dan, Wida Satyamarda, hanya berkomentar pendek, “paraahhh !!!!” Boleh jadi, berdasar komentar acak itu, dapat ditarik satu garis linier, bahwa kita senyatanya, memang bukan apa-apa dan tidak siapa-siapa.

Dari Bale Bengong di suatu kawasan asri, di wilayah Jimbaran Bali, teman saya Gde Komprang Suaste menuturkan, “Semua manusia terlahir kosong. Seisi alam diciptakan dengan nilai nol. Mereka bermakna, manakala dapat saling memberi dan menerima”.

Yang pintar menjahit, tak pandai memasak. Yang memasak, tak bertani. Yang bertani, tak mampu menjahit. Ketiganya bermakna, bila saling memberi dan menerima.

Membangun, mesti menghormati alam; maka alam akan memberi makna bagi pembangunan. Membangun dengan terhormat, ketika melibatkan partisipasi masyarakat. Karena alam, karena kita, karena jalan Tol, adalah titik nol. Yang menunggu untuk apa, untuk siapa kita bermakna, bukan.?! ***

TAGS

COMMENTS