Jakarta Macet
Oleh: Sabar Hutasoit

KEMACETAN yang terjadi di ibukota Jakarta bukan lagi masalah sederhana. Pasalnya, kemacetan yang mewarnai perlalulintasan di ibukota republik ini tidak lagi terbatas hanya pada jalan-jalan protokol saja. Tapi sudah merasuk ke hampir seluruh gang. Gang paling kecil-pun di Jakarta sudah masuk kategori macet.
Satu hal lagi yang membuat kemacetan di Jakarta bukan masalah sederhana lagi adalah, kalau dulu kemacetan itu tergantung pada situasi dan jam-jam tertentu, misalnya pagi saat semua orang pergi sekolah dan kerja dan sore saat semua pekerja pulang ke rumah masing-masing.
Tapi sekarang, tidak ada lagi perbedaan waktu. Mau pagi, siang, sore bahkan malam hari sekalipun, jalanan tetap saja macet. Demikian juga pada hari-hari libur. Kemacetan malah semakin menjadi-jadi. Kalau dulu, kemacetan lalulintas pada hari libur, hanya bisa ditemukan di titik-titik lokasi tempat hiburan atau tujuan wisata. Atau kemacetan itu dulu hanya ada di persimpangan pasar tradisional.
Tidak jelas, apa sebenarnya yang menjadi penyebab utama kemacetan tersebut. Apakah karena jumlah kendaraan yang terlalu banyak? Atau kondisi jalan yang tidak mampu lagi menampungnya? Ataukah tingkat disiplin pengguna jalan raya yang sudah mulai pudar atau sikap dan tindakan petugas penjaga lalulintas yang tidak lagi bisa diandalkan?
Atas pertanyaan ini, tampaknya belum ada satu orang-pun pemangku kepentingan negeri ini yang bisa memberi jawaban yang pasti dan tegas. Yang ada adalah, janji-janji politik di atas mimbar kampanye. Janji tahun lalu sama dengan janji tahun ini dan janji periode lalu tidak beda dengan janji periode mendatang.
Tapi hasilnya? Jangankan teratasi. Kemacetan malah semakin menjadi-jadi. Di badan jalan raya, sepanjang hari dapat kita saksikan tumpukan mobil bagaikan ruang pamer.
Belum lagi sepeda motor yang sudah menyemut. Pengendara sepeda motor itu-pun tampaknya sangat bebas di jalan raya, bebas menerobos rambu lalulintas, bebas mutar balik melawan arah, naik ke trotoar, nyalip sana nyalip sini, pokoknya tidak ada aturan lagi sementara petugas lalulintas terlihat masa bodoh.
Ada sih aturan yang diterbitkan. Sebut saja misalnya seluruh sepeda motor wajib menyalakan lampu sepanjang hari, jalan harus di sebelah kiri jalan, pengendaranya-pun harus mengenakan jaket, helm, sarung tangan dan tidak boleh bersandel jepit.
Namun segala aturan itu tinggal hanya aturan dan hanya menempel di atas kertas saja. Penerapannya? Entar dulu. Hampir tidak ada pengendara sepeda motor yang mematuhi aturan berlalulintas itu sementara petugas lalulintas di jalan raya terlihat masa bodoh dan tidak ada lagi yang melakukan penindakan, kecuali sesekali menghentikan kendaraan bermotor, lalu yang terjadi salam tempel.
Banyaknya kendaraan di kota Metropolitan Jakarta memang bukan rahasia umum lagi. Apabila kita menatap dari atas jembatan layang misalnya, badan jalan di bawahnya hampir seluruhnya tertutupi oleh kendaraan, baik roda dua maupun roda empat. Bahkan sampai trotoar-pun sudah berubah menjadi ‘’jalan raya’’ oleh pengendara sepeda motor.
Akibatnya, pejalan kaki di Jakarta tidak memiliki hak lagi di jalan raya alias tidak punya lahan untuk berjalan kaki. Resikonya, pejalan kaki harus turun dari trotoar dan berhadapan dengan kendaraan di badan jalan raya.
Kemacetan lalulintas di Jakarta telah menjadi issu menarik dan dijadikan ‘barang dagangan’ oleh para calon gubernur DKI Jakarta. Sulit dibayangkan cara apa yang akan dilakukan gubernur mendatang.
Tampaknya, kehadiran jalur busway-pun bukan jalan keluar mengatasi kemacetan bahkan sebaliknya sesuai pengataman di lapangan, ‘’perampokan’’ jalan umum yang dijadikan jalur busway malah semakin membuat kemacetan menjadi-jadi. ***