Gepeng

Loading

Oleh: Edi Siswojo

ilustrasi

ilustrasi

WALANG bin Kilon (54 tahun) dan Sa’aran (60 tahun) asal Subang, Jawa Barar pergi ke Jakarta tujuannya memperbaiki nasib dengan menjadi pengemis. Setelah 15 hari melakoni hidup sebagai gelandangan dan pengemis (Gepeng) di Ibu Kota, pekan lalu, ditangkap petugas Suku Dinas Sosial Jakarta Selatan di kolong jalan layang Pancoran.

Petugas menemukan tas Walang yang lusuh berisi uang Rp 25 juta. Mendadak sontak kedua sosok tua renta yang telah “sukses” bekerja sama menjadi bintang yang menghiasi berbagai layar televisi, halaman surat kabar dan majalah.

Saya terkejut saat menyaksikan tayangan televisi yang mendiskripsikan “kesuksesan” Walang dan Sa’aran yang mendadak menjadi jutawan. Menurut saya mereka merupakan bagian dari ribuan warga negara Indonesia yang menganggur, tinggal di bawah kolong langit beratap bintang, miskin dan menadahkan tangan mengharap belas kasihan orang. Keduanya sebagai rakyat di negeri Pancasila yang tidak melarang orang menjadi kaya sekaya-kayanya, tapi ada larangan orang menjadi gelandangan dan mengemis di pinggir jalan.

Bisa dimengerti kalau Walang dan Sa’aran tidak begitu paham kenapa kerja mengemis harus ditangkap, ditahan dan diancam pidana. Tapi, keduanya yakin betul para fouding father ketika membikin konstitusi tidak menginginkan masyarakat ekonomi yang liberalis dan kapitalistik muncul di negara merdeka yang bernama Indonesia. Konstitusi–UUD 1945–memberikan perlindungan kepada hak-hak setiap warga negara. Dan, pasal 34 UUD 1945 tertulis jelas “Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara”.

Walang dan Sa’aran ditangkap karena bersalah, melanggar Peraturan Daerah (Perda) Provinsi DKI Jakarta No 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum. Pasal 40 menegaskan setiap orang atau badan dilarang: (a) Menjadi pengemis, pengamen, pedagang asongan dan pengelap mobil (b) Menyuruh orang lain untuk menjadi pengemis, pengamen, pedagang asongan dan pengelap mobil (c) Membeli kepada pedagang asongan atau memberikan sejumlah uang atau barang kepada pengemis, pengamen dan pengelap mobil. Melanggar ketentuan huruf (b) dan huruf (c) tersebut diancam pidana kurungan paling singkat 10 (sepuluh ) hari dan paling lama 60 (enam puluh) hari atau denda paling sedikit Rp 100.000 (seratus ribu rupiah) dan paling banyak Rp 20.000.000 (dua puluh juta rupiah).

Menghadapi kenyataan pahit itu bagi Walang dan Sa’aran yang renta papa tidak ada pilihan lain selain mencari aman dengan menerima apa yang telah ditetapkan Pemprov DKI Jakarta. Jika kebebesan tidak begitu diperhitungkan, Panti Sosial–juga penjara–bisa lebih menjamin perut terisi ketimbang menjadi “Gepeng” yang penuh ancaman dan setiap saat dikejar-kejar hamba hukum karena menjadi pengemis merupakan perbuatan pidana! ***

CATEGORIES
TAGS

COMMENTS