Ganjar Ingin Menang? Jangan Singkirkan Relawan
Oleh: Sutrisno Pangaribuan
SILATURAHMI politik kembali berlangsung di akhir pekan. DPP PAN dipimpin Ketumnya Zulkifli Hasan mengunjungi DPP PDIP di kantornya Jalan Diponegoro, Jakarta, Jumat (2/6/2023).
Rombongan tamu disambut Ketum DPP PDIP Megawati Soekarnoputri. Pertemuan tertutup yang juga dihadiri Capres PDIP, Ganjar Pranowo, berakhir tanpa menghasilkan kesepakatan politik diantara keduanya.
Dalam konperensi pers di akhir pertemuan, Zulkifli Hasan menyampaikan akan menindaklanjuti silaturahmi politik dengan PDIP dalam rapat internal DPP PAN. Sementara Megawati Soekarnoputri mengatakan akan melakukan kunjungan balasan ke kantor DPP PAN dalam waktu dekat.
Dalam keterangannya Megawati Soekarnoputri menyampaikan, PDIP telah membentuk tim pemenangan Ganjar. Tim pemenangan dipimpin putrinya, Puan Maharani dengan kewenangan menyeluruh. Kemudian tim kedua yang dipimpin Ahmad Basarah secara khusus bertugas mengkoordinasi relawan.
Pembentukan tim koordinasi relawan dimaksudkan untuk menjaga ketaatan terhadap aturan Pemilu. Tindakan tersebut sebagai reaksi atas kesan yang tercipta bahwa relawanlah yang paling bekerja untuk memenangkan Capres. Megawati juga menjelaskan bahwa Pemilu diselenggarakan oleh KPU, pesertanya Parpol, bukan relawan.
Pernyataan Megawati tersebut semakin menegaskan strategi yang dilakukan berbeda saat mencalonkan Jokowi 2014 dan 2019. PDIP secara sengaja melakukan kanalisasi relawan demi penertiban dan pengendalian, agar taat aturan.
Sikap dan tindakan PDIP tersebut membuat kelompok relawan Jokowi melakukan berbagai manuver. Sebagian ada yang sudah didaftar dan diverifikasi tim Ahmad Basarah. Sebagian ada yang mengalihkan dukungan kepada Capres Prabowo. Sementara itu relawan Jokowi versi musra masih setia menanti arahan Jokowi.
Fenomena munculnya relawan dalam politik secara massif dimulai saat Jokowi bertarung di Pilgub DKI Jakarta 2012. Jokowi-Ahok berhasil mengalahkan gubernur petahana Fauzi Bowo dua putaran. Kelompok relawan tersebut kemudian bergerak mendorong PDIP mencalonkan Jokowi di Pilpres 2014. Jokowi akhirnya diumumkan sebagai Capres secara sederhana pada Jumat (14/3/2014). Relawan pun sumringah karena meyakini bahwa tekanan mereka berhasil “memaksa PDIP” mencalonkan Jokowi sebagai Capres.
Pasca Pilpres 2019 relawan semakin berani. Saat Jokowi melantik Prabowo Subianto menjadi menteri di Kabinet Indonesia Maju, ada kelompok relawan yang mengancam membubarkan diri. Jokowi kemudian mengakomodasi kelompok tersebut dengan jabatan wakil menteri.
Lalu relawan terbagi dalam berbagai kelompok kepentingan dengan manuver yang beragam. Ada yang mendapat “jatah komisaris dan direksi” BUMN dan anak perusahaan BUMN. Ada kelompok yang mulai berani “bernegosiasi” dengan Capres dan Parpol. Manuver yang kemudian membuat sebagian Parpol terganggu.
Peran Relawan dalam Sejarah Indonesia
Saat Megawati Soekarnoputri masih dalam “isolasi politik” orde baru, dia ditopang oleh relawan-relawan. Kelompok civil society, baik aktivis masyarakat dan mahasiswa bergerak membela Megawati secara sukarela. Para pengagum Bung Karno menjadikan Megawati sebagai simbol perjuangan dan perlawanan terhadap rezim otoriter orde baru. Puncaknya saat terjadi tragedi Sabtu kelabu, (27/7/1996), aksi pengambilalihan secara paksa kantor DPP PDI (kini PDIP) di Jalan Diponegoro 58 Jakarta dari tangan Megawati dan “relawannya”. Ada banyak korban jiwa dan korban hilang hingga saat ini belum ditemukan. Mereka yang korban adalah sukarelawan, relawan yang mendukung Megawati tanpa pamrih, tanpa berharap jadi “komisaris BUMN atau staf khusus Menteri”.
Zaman pra kemerdekaan, para tentara rakyat pun adalah sukarelawan. Sukarelawanlah yang bergerak tanpa pamrih, baik bergerak terbuka maupun menjadi gerilyawan. Ada sukarelawan politik, sukarelawan tenaga medis, sukarelawan pengumpul dan pengantar makanan. Semua mengambil peran menjadi sukarelawan demi satu tujuan, Indonesia merdeka.
Soekarno dan Hatta adalah relawan politik, yang bergerak dan berjuang tanpa pamrih. Bahkan kedua relawan politik tersebut tidak merencanakan dan menginginkan sebagai Proklamator lalu menjadi Presiden dan Wakil Presiden pertama.
Kritik Megawati Soekarnoputri terkait posisi dan peran relawan sesungguhnya tidak mengejutkan. Perubahan strategi dalam pencalonan Ganjar Pranowo sebagai Capres, tanpa “tekanan relawan” memberi pesan, bahwa saat ini Parpol harus menjadi pemain utama, bukan relawan.
Strategi tersebut tentu menjadi hak dari PDIP, sebab Ganjar Pranowo adalah kader dan petugas PDIP. Akan tetapi perubahan strategi tersebut seharusnya disampaikan dan dijelaskan dalam ruang-ruang tertutup. Penyampaian kritik terhadap relawan secara terbuka dapat memicu dan memacu sentimen negatif terhadap PDIP dan Capresnya Ganjar Pranowo.
Sejak Ganjar Pranowo menyampaikan pernyataan terkait keikutsertaan Israel dalam Piala Dunia FIFA U20 yang direncanakan semula digelar di Indonesia, relawan Jokowi dan relawan Ganjar berupaya keras meyakinkan masyarakat bahwa pernyataan tersebut sebagai bentuk keberpihakan kepada bangsa yang dijajah dan ingin merdeka, yakni Palestina.
Tuduhan terhadap Ganjar sebagai “kelompok kanan” menguat dan akibatnya hasil survey Capres Ganjar menurun signifikan. Relawan terus bergerak meyakinkan rakyat bahwa Ganjar adalah kelompok nasionalis. Keberpihakan kepada Palestina adalah keberpihakan pada kemanusiaan. Kelompok relawan juga yang bekerja, bergerak secara mandiri memperkenalkan secara luas sosok Ganjar Pranowo sehingga memuncaki hasil survey sebagai Capres.
Saat PDIP baru “berani” mengumumkan Ganjar Pranowo sebagai Capres, Jumat (21/4/2023), relawan sudah bekerja “berani” jauh sebelumnya.
Merangkul Relawan
Kongres Rakyat Nasional (Kornas) sebagai rekan juang politik Jokowi sejak 2014 dan memilih berjuang bersama Ganjar Pranowo sejak 2022 menyampaikan sikap dan pandangan sebagai berikut:
Pertama, bahwa keberhasilan dan kemenangan PDIP memenangkan Pilpres 2014 dan 2019 bukan karena kerja keras PDIP sendiri. Kemenangan itu sebagai hasil kerja antara relawan bersama partai pengusung dan pendukung. Kemenangan tersebut karena Jokowi sebagai “orang biasa” dianggap mewakili mayoritas rakyat Indonesia. Jokowi bukan darah biru, bukan elit politik nasional, bukan pimpinan Parpol.
Kedua, bahwa kehadiran relawan sebagai wadah perjuangan politik akibat Parpol dinilai bukan satu-satunya alat perjuangan politik. Parpol dikuasai sekelompok elit, baik karena darah biru, karena kenangan masa lalu, maupun karena dukungan sumber daya dan dana.
Relawan kemudian mengalihkan perhatian kepada para kepala daerah yang “bukan darah biru” namun mampu memberi harapan baru. Tokoh politik lokal ( kepala daerah) dipromosikan secara massif oleh relawan sehingga dikenal meluas. Keberhasilan tokoh-tokoh politik memimpin daerah dianggap bukan karena direncanakan oleh Parpol.
Mereka ditempa oleh kesediaan dan keterbukaan melayani dan menjadi rakyat. Relawan tumbuh subur karena melihat ada harapan perubahan dan perbaikan melalui sosok kepala daerah yang didukung.
Ketiga, bahwa nilai setiap suara dalam Pemilu adalah sama, baik nilai suara elit politik maupun rakyat biasa. Maka kelompok relawan menjadi kebutuhan dalam pertarungan politik. Kelompok relawan yang gemar selfie, gemar deklarasi, gemar orasi, gemar diskusi-pun dibutuhkan. Sebab mereka memiliki akses langsung kepada rakyat, pemilik suara. Oleh karena itu, peminggiran peran dan posisi relawan dalam perjuangan Ganjar Pranowo tidak bermanfaat. Peran utama dalam menggalang partisipasi dan suara rakyat harus diserahkan kepada relawan.
Posisi tidak Aman
Keempat, bahwa relawan bukan OKP, Ormas, maupun Parpol, sehingga tidak seharusnya didaftar dan diverifikasi layaknya organisasi formal. Relawan adalah kelompok pergerakan, kelompok aspirasi dan partisipasi rakyat dalam politik.
Relawan bahkan tidak harus memiliki bentuk, struktur dan kantor maupun seragam. Relawan adalah gerakan face to face , door to door, lorong ke lorong”, gang ke gang hingga desa ke desa. Relawan harus memiliki akses langsung kepada Capres yang didukung tanpa dibatasi dan dikanalisasi. Relawan harus “dekat” dengan Capres tanpa protokoler ketat yang menciptakan jarak.
Kelima, bahwa jika Pilpres digelar saat ini, maka Ganjar Pranowo belum menang. Hasil survey masih menempatkan Ganjar Pranowo dalam posisi tidak aman. Maka segala bentuk pernyataan yang eksklusif, jumawa, sombong harus dihentikan. Ganjar bersama kelompok pendukungnya harus membujuk, merangkul dengan welas asih, semua relawan baik berkelompok maupun sendiri untuk bergerak dan berjuang bersama memenangkan Pemilu 2024.
Keenam, bahwa sebagaimana Jokowi menang dalam dua kali Pilpres, maka Ganjar Pranowo akan menang jika dan hanya jika terjadi dan terjalin kerjasama yang baik antara Parpol dan relawan. Dalam hal kerjasama politik, maka relasinya tidak seperti antara boss dan anak buah. Parpol harus menjadikan relawan sebagai mitra kerja dalam perjuangan.
Kornas sebagai wadah berhimpun dan berjuang rakyat dalam mewujudkan tujuan dan cita-cita bangsa Indonesia, akan terus bergerak. Gerakan merekam, menangkap dan menghimpun masalah, aspirasi dan kebutuhan rakyat menjadi fokus Kornas.
Kornas terus bergerak mensosialisasikan “apa” yang telah, sedang dan akan dilakukan oleh Ganjar Pranowo, bukan tentang “siapa” Ganjar Pranowo.
Keberhasilan Jokowi dalam Pilpres 2014 dengan tagline: “Jokowi Adalah Kita”, maka untuk memastikan bahwa Ganjar tetap milik rakyat, maka taglinenya: “Ganjar Milik Kita”, milik rakyat Indonesia. (Penulis adalah Presidium Kongres Rakyat Nasional, tinggal di Jakarta)