Ekonomi Nomor 7 di Dunia 2030, Untuk Siapa

Loading

Oleh: Fauzi Aziz

Fauzi Aziz

Fauzi Aziz

BERSYUKUR dan bangga. The next super power ke 7, berarti 17 tahun lagi. Senang dong, tapi boleh kan bertanya. Andaikata proyeksi itu benar, untuk siapa itu. Kita bayangkan saat itu berarti pertumbuhan ekonominya bisa mencapai 10% lebih/per tahun. GDP per kapitanya kalau sekarang sudah mencapai USD 3.500, mungkin pada tahun 2030 bisa USD 15-20 ribu.

Cadangan devisa sekarang sekitar USD 115 miliar,di tahun 2030 barangkali bisa USD 1triliun (China saat ini memilki USD 3 triliun). Meskipun angka-angka itu hanya ilusi, sebagai orang awam hanya membayangkan apa mungkin bisa terjadi kalau dilihat persiapan yang dilakukan elit bangsa ini seperti orang main “gambling” atau sedang melakukan “lelang” aset.

Tapi kata nasehat orang bijak, janganlah bersikap pesimis menghadapi masa depan. Berfikir dan bertindaklah positif dan produktif agar masa depan dapat kita raih dan menjadi milik kita bersama. Kita akan menjadi bangsa yang dihormati di dunia karena pada tahun 2030, bangsa ini akan menjadi penjuru dunia.

Presidennya terserang flu saja dan tidak muncul 1-2 hari di depan publik, harga saham di bursa regional dan dunia bisa rontok. Begitu juga nilai tukar mata uangnya. Kalau melihat pengalaman China, kedigdayaan ekonomi yang diraihnya benar-benar milik bangsanya dan dinikmati sebesar-besarnya untuk kesejahteraan dan kemakmuran bangsa China.

Bukan hanya di China daratan saja, tetapi menjangkau China overseas. China memiliki “China Megatrend” dengan delapan pilarnya untuk terus menjadi digdaya. Indonesia hanya punya MP3EI. Jujur, sulit diperbandingkan dengan konsep China Megatrend dengan delapan pilarnya, karena pendekatannya sangat multidimensi, wawasannya jangka panjang. MP3EI tidak berdimensi luas, jangka waktunya pendek, paling hanya berlaku s/d akhir 2014.

Ke depannya seperti apa juga tidak jelas karena sangat tergantung pada visi presiden terpilih pada tahun itu. China Megatrend bukan sistem perencanaan pembangunan, tapi lebih bernuansa dan berkonten yang syarat penuh cita-cita, visi bangsa agar bangsa China sebagai bagian komunitas dunia berperadaban tinggi.

Penuh dengan semangat membangun infrakultur bangsa agar struktur dan kultur masyarakatnya kuat menghadapi segala macam bentuk ancaman, tantangan dan juga menangkap peluang yang ada. Pendek kata, basisnya China banget di daratan maupun overseas.

Yang penting, China harus menjadi pendekar di dunia, apakah dalam masalah politik, ekonomi, kebudayaan dan pertahanan. Supaya kita tidak pesimis dan tidak juga kahawatir jika tahun 2030 ditakdirkan. menjadi negara nomor 7 di dunia di bidang ekonomi, pertumbuhan yang dihasilkan harus menjadi milik bangsa Indonesia dan dinikmati oleh seluruh warga negara.

Apalah artinya ekonominya tumbuh menakjubkan, tapi hampir semua nilai tambahnya dibawa kabur ke luar negeri. Teka-teki ini harus terjawab dari sekarang. Mungkin kita harus punya “Indonesia Megatrend”, bukan hanya mengejar tahun 2030 yang tinggal 17 tahun lagi, tapi barangkali yang bersifat never ending atau minimal sampai dengan 2050, sebagai haluan bangsa dan negara.

Kalau yang demikian tidak dilakukan, maka kekhawatiran bahwa yang akan banyak terjadi adalah alih fungsi kepemilikan aset bangsa dan negara bisa makin menjadi kenyataan. Sekarang saja sudah banyak terjadi. Indosat dijual, BUMN diprivatisasi. Jaringan pemasaran banyak dikuasai asing, jaringan usaha finansial dan perbankan menjadi milik asing, devisa control tidak dilakukan dan masih banyak lagi seperti di sektor perkebunan dan kelautan.

Hal yang disampaikan hanyalah pikiran yang bersifat spekulatif. Para elit bangsa diyakini memilki hitung-hitungan sendiri tentang masa depan bangsa dan negara ini. Mudah-mudahan mereka serius dan makin serius dan menyadari bahwa sebagai elit bangsa tidak pantas lagi hanya berfikir dan bertindak pragmatis dan transaksional.

Proyeksi tahun 2030 akan menjadi negara dengan kekuatan ekonomi nomor 7 di dunia, bukan kita lho yang membuat. Bukan pula IMF, World Bank, WTO atau G20. Tapi hanya sebuah lembaga pemeringkat. Lembaga tersebut bisa saja bekerja untuk kepentingan IMF. Tapi yang hampir pasti di belakngnya adalah para multi-national corporation gaya baru yang sedang mencari tempat untuk bisa melakukan kapitalisasi asetnya dan dalam hitung-hitungan matematis mereka,

Indonesia salah satu pilihannya. Sayangnya hingga saat ini, Indonesia sebagai bangsa dan negara belum punya grand design-nya atau semacam “megatrendnya” untuk kepentingan masa depannya. ***

CATEGORIES

COMMENTS