Dampak Globalisasi, Siapa Peduli?
Oleh: Fauzi Aziz

ilustrasi
SAAT ini, berita yang paling menarik untuk dibaca, dilihat, dan didengar oleh masyarakat adalah hasil pemilihan umum legislatif dan pada Juli 2014 nanti, kita akan memilih presiden dan wakil presiden. Isunya, marak soal politik uang, kecurangan, koalisi, mahar politik, dan banyak lagi, yang pada akhirnya memuakkan.
Suasana di negeri ini seperti di pasar tiban yang hiruk-pikuk. Ada yang untung ada yang bunting, karena even pileg dan pilpres diberi label sebagai “pesta rakyat”. Seakan kita semua lupa bahwa sejatinya negeri ini sedang berada di persimpangan jalan. Ibaratnya, negeri ini sedang berada dalam posisi di bawah tekanan, karena sistem tata nilai yang sedang tumbuh subur adalah nilai-nilai kebendaan.
Politiknya di bawah tekanan nilai-nilai kebendaaan. Ekonomi juga di bawah tekanan asing, karena Indonesia sudah membuka lebar-lebar sistem ekonomi yang liberal, padahal kondisi di dalam negeri rapuh akibat mulai terkikisnya sistem tata nilai khas Indonesia. Fondasi dan benteng pertahanannya rontok sehingga posisi negeri ini selalu berada di bawah tekanan asing. Budayanya sedang terkikis oleh budaya global yang nilai dasarnya adalah kebebasan individu dan mendewakan nilai kebendaan. Sehingga banyak anak-anak kita tidak mengenal budayanya sendiri.
Yang serba asing adalah yang terbaik. Prinsipnya adalah menciptakan uang di atas uang. Dalam konteks globalisasi, negara yang paling disukai oleh masyarakat internasional adalah Indonesia, karena posisinya sangat membuka diri terhadap sistem politik, ekonomi, dan budaya yang bersifat global. Rupanya, negeri ini telah menjadi salah satu negara yang terdampak oleh sistem globalisasi poltik, ekonomi, dan budaya global yang sudah merasuk dalam tataran kehidupan individu, masyarakat, bangsa, dan negara.
Para pengelola negara ini rupanya sudah sangat percaya dan menaruh harapan bahwa globalisasi dan membuka diri lebar-lebar dalam sistem persaingan bebas akan memberikan kontribusi bagi peningkatan taraf hidup masyarakatnya, dengan cara mempermudah masuknya investasi asing, sehingga mampu memproduksi barang-barang baru dengan harga yang murah, termasuk investasi dalam pengelolaan sumber daya alam, dan sumber daya manusia.
Uang di Atas Uang
Dilihat dari sisi politik, asas demokrasi dan desentralisasi disalahgunakan untuk membangun kerajaaan/dinasti yang berlindung di balik dukungan rakyat. Politik dinasti yang dibangun adalah menciptakan uang di atas uang.Tidak peduli rakyatnya tetap miskin, dan sumber daya alam di daerahnya dibiarkan habis meninggalkan duka berkepanjangan, karena lahannya menjadi kritis. Ini semua terjadi akibat kapasitas kepenguasaannya dalam lingkungan organisasi publik dipertaruhkan/digadaikan demi menciptakan uang di atas uang untuk kepentingan dinastinya.
Tanpa harus melakukan tekanan militer ke Indonesia, menjajah kembali Indonesia dengan pendekatan politik, ekonomi, dan budaya, oleh negara-negara yang menginginkan Indonesia berada dalam pengaruhnya sangat mudah untuk dilakukan. Masyarakat miskin dibiarkan mencari jalan keluar sendiri dan menjadi kelompok masyarakat yang paling rentan jika laju pertumbuhan ekonomi melambat atau kehilangan pekerjaan akibat kalah bersaing dengan bangsa lain.
Indonesia saat ini sejatinya sudah dalam posisi kalah bersaing, kalau para pengelola kebijakan di negeri ini tidak melakukan upaya strategis untuk mengubahnya. Oleh sebab itu, sebagai rakyat Indonesia yang tetap mencintai negerinya sendiri dan tidak rela kalau negara hanya menjadi mainan bangsa-bangsa lain, karena attitude kalangan pengelola dalam mengurus negeri ini buruk, korup, dan sangat transaksional. Hal yang demikian sangat mudah dimasuki virus globalisasi yang bersifat destruktif.
Stiglitz dalam bukunya berjudul “Making Globalization Works” memberikan beberapa catatan yang sangat menarik. Di antaranya, dampak dari globalisasi telah melahirkan lima masalah yang harus diperhatikan. Pertama, aturan globalisasi tidak adil, dirancang secara khusus untuk menguntungkan negara maju. Kenyataannya, dewasa ini beberapa perubahan sangat tidak adil, sehingga membuat negara-negara miskin menjadi makin terpuruk. Kedua, globalisasi mendahulukan nilai-nilai kebendaan di atas nilai-nilai lain, seperti lingkungan dan kehidupan itu sendiri.
Ketiga, cara pengelolaan globalisasi telah mencabut sebagian besar kedaulatan negara-negara berkembang, termasuk kemampuan membuat keputusan di bidang-bidang penting yang memengaruhi kehidupan masyarakat. Hal ini tentu memperlemah demokrasi. Keempat, sementara itu, para pendukung globalisasi mengklaim bahwa setiap orang akan mendapat keuntungan secara ekonomi, namun terdapat bukti yang menunjukkan banyak pihak yang dirugikan, baik di negara maju maupun di negara berkembang. Kelima, yang penting lagi adalah sistem ekonomi yang dipaksakan (pada negara-negara berkembang). Padahal, tindakan ini dinilai tidak tepat dan sering kali sangat merusak.
Dari lima masalah yang patut menjadi perhatian dunia tersebut, jika kita simak satu per satu, Indonesia sudah terdampak langsung dari sistem globalisasi yang bersifat merugikan. Dan jujur harus dikatakan mengancam kedaulatan bangsa dan negara kita. Semoga opini yang mengangkat tema dampak globalisasi, siapa peduli, mendapat perhatian dari para penguasa baru di pemerintahan maupun lembaga legislatif dan menyikapi secara tepat dampak globalisasi demi Indonesia yang kita cintai bersama. ***