Bermewah-mewah
Oleh: Sabar Hutasoit

Ilustrasi
BERMEWAH-MEWAH dan jauh dari pola hidup sederhana. Inilah kesimpulan kebanyakan masyarakat manakala mendengar berita kalau biaya rapat di Istana Kepresidenan dianggarkan Rp 30,1 miliar untuk tahun 2012. Berita itu mencuat menyusul beredarnya rilis Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra), yang menyebut bahwa sulit dipercaya nilai anggaran itu begitu signifikan di tengah keprihatinan, untuk makan saja, rakyat Indonesia berada pada kondisi sulit.
Masuk di akal kesimpulan tersebut. Pasalnya, menghabiskan dana sebesar Rp 30,1 miliar untuk kegiatan rapat sepanjang tahun 2012, sama sekali tidak menyiratkan semangat keprihatinan atau pola hidup sederhana. Bahkan sebaliknya, yang terlihat adalah pola hidup berlebihan. Untuk sekali sidang kabinet paripurna saja, anggaran yang dialokasikan mencapai Rp 20 juta.
Sementara untuk perhelatan rapat berskala akbar, anggaran yang disiapkan tidak kurang dari Rp 1 miliar. Dengan angka-angka seperti itu, anggaran rapat di lingkungan Istana Kepresidenan menjadi sulit dibedakan dengan biaya pesta kaum berkantong tebal kota metropolitan. Sehingga muncul pertanyaan, mereka itu pesta atau rapat?
Sebenarnya, anggaran rapat di Istana Kepresidenan yang diisukan Fitra itu sudah mendapat tanggapan dari Istana, bahkan angka Rp 30,1 miliar sudah dikoreksi pihak Isatana Kepresidenan menjadi Rp 24,7 miliar. Artinya, rilis Fitra lebih besar sekitar Rp 4 miliar dari anggaran sebenarnya.
Namun, berpijak kepada anggaran yang dikoreksi itu-pun, kelihatannnya masih tetap mencerminkan kemewahan alias tidak ada rasa prihatin terhadap keadaan masyarakat. Kalau mau dibagi secara merata, Rp 24,7 miliar untuk satu tahun (12 bulan), itu artinya Istana Kepresidenan dianggarkan menghabiskan biaya rapat Rp 2 miliar lebih setiap bulan.
Kalaulah para petinggi negeri ini rapat di Istana Kepresidenan sebanyak 10 kali setiap bulan, maka sekali rapat menghabiskan dana Rp 200 juta. Berapa orang sebenarnya petinggi negeri ini yang ikut setiap rapat? Adakah 100 orang? Katakan ya. Berarti satu orang peserta rapat di Istana Kepresidenan menghabiskan biaya Rp 2 juta (itupun kalau 100 orang yang ikut rapat). Kalau separuhnya, maka satu orang menghabiskan Rp 4 juta sekali rapat.
Jika rapat dari pagi sampai sore hari berarti makan dua kali dan rehat kopi satu kali. Makan dan minum apakah gerangan para peserta rapat itu?
Ironis sekali bukan? Satu kali rapat petinggi negeri menghabiskan anggaran begitu besar sementara kalau kita nonton di televisi, untuk mencari uang Rp 10.000 saja satu hari seorang pekerja, teramat sulit dan kalaupun dapat, jauh dari cukup untuk menghidupi keluarga.
Kenyataan itu sungguh ironis karena tidak mencerminkan langkah pengamanan APBN 2012 yang rapuh akibat tekanan dampak kenaikan harga minyak mentah di pasar global. Bahkan anggaran jumbo untuk penyelenggaraan rapat itu juga menjadi kontraproduktif dengan gerakan penghematan yang dicanangkan Presiden SBY dalam menyiasati kesulitan anggaran sekarang ini.
Melihat keadaan ini, terkesan kalau para petinggi negeri yang ikut rapat di Istana Kepresidenan itu sepertinya berada di planet lain dari rakyatnya yang menderita tidak dapat makan. Kemudian menjadi tidak jelas untuk siapa dan untuk apa mereka rapat setiap saat di Istana Kepresidenan itu.
Kalau untuk membahas kesejahteraan, mereka sudah habiskan dulu duit bermiliaran rupiah hanya untuk rapat dan bila untuk penegakan hukum, lihat tuh para koruptor asyik berpesta pora membela diri dan mengarang cerita agar para koruptor bebas dari jeratan hukum. Para pendekar hukum-pun tidak ada yang berani menegakkan hukum kecuali hanya berdebat tidak karuan dan tidak memberi jalan keluar.
Petinggi-petinggi dan pejabat negeri ini juga hanya asyik membahas dan mempersiapkan diri dari kabinet satu ke kabinet berikut atau dari pilkada satu ke pilkada berikut. Begitu seterusnya, waktu mereka habis hanya mempersiapkan diri untuk memenangkan pemilu. Hidup mereka tidak lain dari pemilu ke pemilu. ***