Batik dalam Dua Dimensi, Budaya dan Ekonomi
Oleh: Fauzi Aziz
TANGGAL 2 Oktober 2012 adalah tahun keempat peringatan Hari Batik Nasional. Hampir semua daerah gegap-gempita meramaikan Hari Batik Nasional. Semoga saja perkembangan batik di masa mendatang makin mendapatkan tempat dari para penggemarnya di dalam dan di luar negeri.
Pengakuan Unesco secara de jure dan de facto adalah pengakuan bahwa batik warisan budaya milik Bangsa Indonesia. Konsekuensinya, pemerintah dan masyarakat harus melestarikan dan melindungi batik. Bahkan, harus mengembangkannya. Tidak ringan mengemban misi tersebut pada saat sedang terjadi perubahan gaya hidup yang begitu luar biasa, terutama dari golongan kelas menengah. Makna filosofis dari sebuah karya batik, sebagai produk budaya, pada saat kapan jenis kain batik diagem sebagai adi busana, barangkali tidak begitu penting bagi mereka.
Di kalangan pemerhati, pecinta batik, para arkeolog, dan sejarawan, makna warisan budaya memang menjadi penting bagi mereka. Sebagai komoditas budaya, maka hal yang patut dipertimbangkan oleh pemerintah dan masyarakat batik adalah perlu membangun pusat studi dan kajian tentang batik di perguruan tinggi.
Masyarakat Batik Indonesia sudah merekomendasikan agar di Universitas Indonesia dibentuk Pusat Studi dan Kajian tentang Batik. Juga diusulkan agar Balai Besar Litbang Batik dan Kerajinan di Yogyakarta menjadi center of excellent inovasi dan kreasi batik di Indonesia. Ada baiknya juga dipertimbangkan agar Indonesia memiliki Pusat Kebudayaan Batik Indonesia, selain yang sudah ada, misalnya, Museum Batik.
Hadirnya lembaga-lembaga tadi misi utamanya diharapkan dalam rangka melindungi dan melestarikan batik sebagai produk budaya. Jika hal ini berhasil dikembangkan, maka pusat-pusat tadi akan menjadi bagian dari pusat kunjungan wisata kebudayaan. Sebagai komoditas yang bernilai ekonomi, maka batik adalah industri kreatif. Fakta tidak bisa terbantahkan bahwa di masyarakat dikenal ada batik tulis, batik cap, dan kombinasi tulis dan cap. Yang prosesnya seperti itu termasuk dalam bagian yang harus dilindungi dan dilestarikan sesuai pengakuan Unesco.
Batik Printing
Sementara itu, di luar proses tulis dan cap atau kombinasi keduanya, juga dikenal batik printing atau awam sering menyebutnya batik sablon. Di pasar, para pedagang batik di Tanah Abang, Thamrin City, Pasar Klewer di Solo, Pasar Beringharjo di Yogyakarta menjajakan semua jenis batik berdasarkan kategori prosesnya tadi. Dalam proses edukasi ke masyarakat faktor labeling menjadi sangat penting agar masyarakat tahu persis mana batik tulis, cap, kombinasi tulis dan cap serta batik printing.
Balai Besar Batik dan Kerajinan sudah mengeluarkan batikmark untuk batik tulis, cap, dan kombinasinya. Tapi, sayang batikmark itu belum tersosialisasi dengan baik, sehingga penerapannya masih sangat terbatas.
Untuk batik printing belum ada labelingnya dan rasanya Kementerian Perdagangan wajib memprogamkannya, termasuk pengawasan barang dalam peredaran. Pada Buku Tarif Bea Masuk Indonesia maupun dalam ASEAN Harmonize Tariff Nomenclatur (AHTN). Seharusnya di kedua buku tarif impor itu, batik harus dibuatkan nomor pos tarif HS sendiri dan bea masuknya harus ditetapkan pada tarif maksimum, yaitu 40 persen dalam rangka perlindungan dan pelestarian.
Kita tidak tahu apakah kebijakan tersebut sudah dikeluarkan. Seharusnya juga batik dimasukkan dalam permanent exclution list yang tidak boleh diimpor dengan tarif bea masuk preferensi yang rendah (0-5 persen), baik dalam rangka FTA ASEAN maupun dalam rangka FTA ASEAN-China.
Dengan pendekatan yang seperti itu, batik sebagai komoditas yang bernilai ekonomi, output dan outcome-nya benar-benar dinikmati oleh para perajin batik, pengusaha batik, dan pedagang batik serta masyarakat batik secara keseluruhan di dalam negeri. Hasil penjualannya di dalam negeri dan devisa ekspor yang dihasilkannya biarlah mereka yang menikmati yang sebagian besar diusahakan pada skala UMKM.
Dua dimensi batik, sebagai produk budaya dan bernilai ekonomi, ibarat sekeping mata uang, yang fungsi keduanya akan menjadi pencipta nilai tambah yang dapat diukur secara intangible dan yang bersifat tangible. Oleh karena itu, batik sebagai basis kekuatan ekonomi rakyat adalah sebuah jawaban bahwa batik bisa membuat masyarakat sejahtera dan makmur dari usaha batik yang ditekuni dan dikembangkan sesuai dengan dinamika budaya dan ekonomi batik itu sendiri. Tidak ada salahnya jika pemerintah bersama YBI dan Masyarakat Batik Indonesia memprakarsai lahirnya rancangan undang-undang tentang batik. Dirgahayu Hari Batik Nasional. ***