Angka
Oleh: Edi Siswojo

Ilustrasi
ORANG Indonesia suka angka. Bung Karno suka angka 5. Mutiara hidup bangsa Indonesia, Pancasila, yang digali Bung Karno dari kandungan Ibu Pertiwi jumlah silanya ada 5. Ada juga yang suka angka 10. Misalnya The Ten Commandment-nya Nabi Musa. Namun tidak sedikit juga menghindari angka 13.
Bagi masyarakat suku Jawa, angka 3 punya makna tersendiri dalam kaitan kata ojo (dilarang). Ojo kaget, ojo gumun, ojo dumeh. Ketiga ojo itu merupakan nilai-nilai luhur yang menjadi harapan dalam budaya masyarakat.
Ojo kaget, jangan mudah kaget. Ada kenaikan harga bahan bakar minyak, kaget. Ada serbuan produk Cina, kaget. Ada kenaikan tarif dasar listrik, kaget. Pemerintah biasa-biasa karena semua itu sudah dalam perencanaan.
Ojo gumun, jangan mudah heran. Tidak perlu heran hasil survei tingkat kepuasan masyarakat terhadap pemerintah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono – Boediono, merosot. Tidak perlu terheran-heran rakyat merindukan Pak Harto dan Orde Baru. Memang, reformasi yang sudah berjalan 13 tahun belum optimal meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Ojo dumeh, jangan mentang-mentang. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) terus ngotot membangun gedung baru walaupun rakyat tidak setuju. Hukum pasar memberi kebebasan pergerakan harga, pedagang seenaknya menaikkan harga sembako seiring kenaikan harga bahan bakar minyak.
Dalam kitab Sasangkajati, Paguyuban Ngesti Tunggal 2005, halaman 9 disebutkan ada lima watak perilaku baik yang disebut Panca Watak, yaitu rela, narima, jujur, sabar dan budi luhur. Setiap orang perlu memiliki kelima watak itu supaya semua urusannya lancar.
Intinya, rela itu hati yang lapang, tidak mengeluh saat menerima penderitaan, tidak gila sanjungan dan ringan tangan membantu orang lain.
Narima itu tidak iri hati, dapat menerima apa yang menjadi haknya. Jujur itu menepati janji yang sudah diucapkan maupun yang belum diucapkan (niat). Sabar itu mampu menampung segala masalah, kuat menghadapi cobaan, tidak putus asa dan tidak picik. Budi luhur itu cinta kasih kepada sesamanya, adil dan tidak membedakan derajat seseorang karena kaya atau miskin.
Mudah-mudahan, angka 103 pada peringatan Hari Kebangkitan Nasional (20 Mei 1908 – 2011) membawa kebangkitan kesadaran Panca Watak bangsa Indonesia dalam mengembangkan nasionalisme di tengah arus besar globalisasi dunia! ***