Akses Fiskus Potensial Timbulkan Bencana Ekonomi Nasional

Loading

agustony

MANADO, (tubasmedia.com) – Pemerintah diingatkan untuk membatalkan niat mendapatkan kemudahan akses fiskus (aparatur pajak) terhadap rahasia bank lewat Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Hal itu akan mendorong capital flight sehingga berpotensi menimbulkan bencana ekonomi nasional lewat sektor perbankan.

“Pemerintah harus membatalkan niatnya untuk mendapatkan kemudahan akses fiskus terhadap rahasia bank melalui OJK,” kata Pengamat Ekonomi dari Universitas Sam Ratulangi (Unsrat) Manado Agus Tony Poputra, Selasa (17/2/15).

Pasalnya, kata Agus, saat ini saja likuiditas perbankan sudah ‘lampu kuning’. Ini ditandai dengan posisi Loan to Deposit Ratio (LDR/rasio kredit terhadap dana pihak ketiga) perbankan sudah di atas 90 persen, dimana pada akhir Desember 2014 sudah mencapai 92,35 persen.

Kondisi ini disebabkan pertumbuhan kredit selama ini (kecuali tahun 2014) selalu jauh di atas pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK), yaitu di atas 20 persen. Sementara pertumbuhan DPK berada di bawah 20 persen dan terus melambat bahkan pada 2014 hanya sebesar 12,1 persen.

Lebih jauh, Agus mengatakan, apabila Bank Indonesia (BI) tidak mengerem pertumbuhan kredit pada tahun 2014 lewat BI Rate yang tinggi dan juga untuk mengendalikan inflasi, maka bukan tidak mungkin LDR perbankan pada akhir 2014 sudah berada pada kisaran 99 persen.

“Namun, kebijakan mengerem kredit bukan tanpa pengorbanan. Pengorbanannya adalah melambatnya pertumbuhan ekonomi pada tahun 2014 dimana hanya sebesar 5,02 persen. Angka tersebut merupakan pertumbuhan terendah selama 5 tahun terakhir,” papar Agus.

Agus memaparkan bahwa untuk meningkatkan LDR seharusnya pemerintah serta otoritas keuangan dan moneter melakukan kebijakan. Tujuannya, untuk meningkatkan DPK bukannya mengerem kredit. Dengan adanya niat pemerintah agar fiskus memperoleh kemudahan mengakses data nasabah di perbankan justru sangat bertolak belakang dengan upaya meningkatkan DPK.

Kemudahan akses tersebut, ucap Agus, akan mendorong capital flight dari para pemilik dana besar sehingga pertumbuhan DPK perbankan akan semakin melambat, bahkan pertumbuhan bisa negatif. Akibatnya perbankan nasional berpotensi mengalami krisis likuiditas dan bisa menuju pada gangguan operasional perbankan dan eksistensi bank-bank nasional secara sistemik.

Apabila perbankan mengalami permasalahan sistemik maka akan menular pada sektor riil. Konsekuensinya, krisis ekonomi dan moneter pada tahun 1998 bukan tidak mungkin terjadi kembali. Dan proses recovery-nya jauh lebih berat dan lama sebab menyangkut ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah atas kerahasian dana mereka di perbankan.

Menurut Agus, memang tidak dapat dipungkiri bahwa ketaatan pajak (tax compliance) wajib pajak di Indonesia masih rendah dan perlu ditingkatkan untuk memperkuat anggaran negara untuk pembangunan. Namun, jika kebijakan yang ditempuh kurang tepat justru akan menghancurkan sumber penerimaan pajak itu sendiri karena krisis ekonomi dan moneter yang ditimbukan.

“Dengan kata lain, penerimaan pajak jangka pendek jangan sampai mengorbankan penerimaan pajak jangka pajak. Intinya, untuk meningkatkan ketaatan pajak, masih banyak cara lain yang dapat dipakai,” tutur Agus.

Agus menyarankan untuk tujuan tersebut, fiskus dapat melakukan beberapa kebijakan. Pertama, meningkatkan probabilitas audit. Kedua, menambah lapisan supervisi atas pekerjaan auditor pajak untuk mengurangi kerjasama sama auditor pajak dengan wajib pajak nakal. Dan ketiga, memperbesar tarif denda dan hukuman badan.

“Kebijakan-kebijakan tersebut jauh lebih halus, efektif, dan menimbulkan dampak negatif yang minimal. Sementara akses data nasabah hanya dapat dilakukan untuk wajib pajak telah bermasalah dengan hukum pajak dan akses tersebut harus lewat pengadilan sebagaimana diatur selama ini,” tutup Agus. (angga)

CATEGORIES
TAGS