Warga Negara Adalah Pemilik Kekayaan dan Kemakmuran
Oleh: Fauzi Azis

ilustrasi
DALAM pasal 26 ayat (1) UUD 1945, yang menjadi warga negara ialah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disyahkan dengan Undang-undang sebagai warga negara. Dalam konteks yang lain bila seseorang telah diakui sebagai warga negara Indonesia yang sah menurut undang-undang, maka mereka itu bisa disebut juga sebagai rakyat Indonesia sebagai pemilik kedaulatan yang sah di negeri ini di bidang politik, sosial, ekonomi, budaya dan di bidang yang lain.
Warga negara sebagai pemilik kekayaan dan kemakmuran,berdasarkan konstitusi negara, hak-hak dasarnya dijamin, termasuk kewajibannya sebagaimana diamanatkan dalam pasal 27 s/d 33. Negara dengan demikian mempunyai tugas dan tanggung jawab untuk mengelolanya agar warga sebagai pemilik kekayaan dan kemakmuran terfasilitasi kegiatannya di bidang apapun yang ditekuninya.
Pemahaman ini yang perlu diduduk perkarakan dalam proses politik yang demokratis agar warga negara sebagai pemilik kedaulatan benar-benar berdaulat sebagai pemilik kekayaan dan kemakmuran. Oleh sebab itu semua kebijakan dan progam negara yang sehari-hari dijalankan oleh pemerintah yang diberi mandat oleh rakyat harus selalu berorientasi kepada upaya meningkatkan kesejahteraan rakyat sebagai warga negara yang hak-hak dijamin oleh konstitusi.
Jika pemahaman ini dapat dimengerti dengan baik dan benar oleh penyelenggara negara secara keseluruhan,maka proses pembangunan di bidang ekonomi memang menjadi bersifat mandatory harus beorientasi untuk selalu memenangkan kepentingan nasional,yaitu meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat atau warga negaranya.
Tanpa harus terus berpolemik tentang kehadiran asing di negeri ini, sepanjang kehadirannya masih dalam koridor untuk membangun kekayaan dan kemakmuran yang menjadi miliknya warga negara Indonesia, sejatinya kehadiran mereka adalah sah-sah saja. Namun manakala pemiik kekayaan dan kemakmuran itu menjadi berpindah ke pihak asing dan warga negara atau rakyat hanya menjadi pekerja atau sekedar menjadi penonton, tindakan itu yang tidak benar.
Dan tidaklah salah kalau kemudian segala bentuk kebijakan negara digugat karena dinilai tidak pro rakyat sebagai pemilik kekayaan dan kemakmuran. Kebuntuan yang dihasilkan dalam sidang-sidang WTO mengalami kemacetan dalam kurun waktu yang panjang sejatinya terjadi karena para negara pihak tidak mau mengambil resiko kekayaan dan kemakmuran milik rakyatnya diambil alih oleh bangsa lain.
Kemandekan perundingan di WTO bukan sesuatu yang luar biasa dan tidak mengagetkan karena apakah negara itu besar/adidaya atau negara kecil pasti akan mementingkan kepentingan nasionalnya,yaitu tidak mau kekayaan rakyatnya dikuasai dan diambil oleh bangsa lain atas nama globalisasi dan pasar bebas.
Oleh sebab itu, setiap kebijakan negara yang diambil oleh pemerintah harus mampu memberi harapan kepada seluruh rakyat untuk dapat memasuki jalur kehidupan yang lebih baik atau selalu naik kelas. Mengutamakan kepentingan public ,bukan hanya kepentingan negara,pemerintah atau kepentingan politik saja. Mendorong efisiensi dan efektifitas kehidupan bersama diantara seluruh warga negara.
Mampu membaca kebutuhan rakyat dan mampu membuat tindakan nyata.Melahirkan dan membesarkan industri milik warga negara.Membuat kebijakan pemerintah memungkinkan dilakukannya divestasi kepemilikan asing,bukan dalam rangka nasionalisasi,dan membuat kerangka regulasi yang tidak mempemudah akses pemain asing dalam pengelolaan sumber daya ekonomi di negeri ini. ***