UUD 1945

Loading

Oleh: Fauzi Aziz

Fauzi Aziz

Fauzi Aziz

SEBAGAI yang sangat awam dalam memahami UUD 1945, kali ini penulis memberanikan diri mencoba ikut berselancar. Apa itu UUD 1945? Sewaktu SMP sekitar tahun 1964, saat mendapatkan mata pelajaran civic, diperoleh suatu pemahaman kecil bahwa UUD 1945 adalah sumber dari segala hukum dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia.

Semua peraturan perundangan yang dibuat di negeri ini tidak boleh bertentangan dengan semangat dan isi yang termuat dalam UUD 1945. Sepanjang yang diketahui, UUD tersebut sudah empat kali direvisi, tetapi judulnya tetap sama yaitu UUD 1945.

Di antara kita pasti banyak yang tidak tahu apa yang menjadi semangat untuk merevisinya sampai empat kali. Hanya beliau-beliau yang terlibat langsung barangkali yang tahu persis mengapa diubah dan disempurnakan. Bahkan ada suara nyaring terdengar yang “berkehendak” untuk merevisinya kembali.

Suka geli mendengar kelakar para politisi. Apa yang tidak bisa diubah di dunia ini. UUD kan buatan manusia. Yang tidak boleh diubah hanya Al-qur’an atau Injil atau kitab suci yang lain. UUD 1945 adalah konstitusi negara.

Mengutip pendapat Prof Dr Jimly Asshiddiqie SH, pakar hukum tata negara dikatakan bahwa konstitusi adalah perjanjian, konsensus, atau kesepakatan tertinggi dalam kegiatan bernegara. Melihat definisi ini ada tiga unsur penting, yaitu perjanjian, konsensus dan bernegara. Perjanjian tentang apa, konsensus mengenai apa dan bernegara yang seperti apa yang hendak dirumuskan jika seandainya UUD 1945 akan direvisi lagi.

Lembaga tinggi negara yang berwenang melakukannya adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Sebagai orang awam, lantas muncul pertanyaan besar apakah UUD 1945 harus direvisi lagi? Pertanyaan berikutnya apakah dan siapa yang dapat menjamin bahwa tidak ada invisible hand yang akan ikut bekerja ketika proses revisi itu berjalan.

Munculnya pertanyaan ini karena ada setitik keraguan bisakah MPR (yang angotanya terdiri dari anggota DPR dan DPD) mampu membebaskan diri dari pengaruh invisible hand, manakala sikap kenegarawannya oleh sebagian kalangan masih “diragukan”.

Ditambah sikap politiknya yang pragmatis dan transaksional. Ini semua pertanyaan besar yang harus dijawab bersama oleh seluruh unsur kekuatan bangsa. Karena konstitusi secara definisi mengandung makna sebuah perjanjian, konsensus dan hidup bernegara.

Belum Pernah Rukun

Sejak reformasi 1998, sejak negeri ini menjadi negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, kita belum pernah “rukun” dalam hidup berbangsa dan bernegara. Fragmentasi politiknya sangat besar dan terkesan semuanya ingin berkuasa di negeri ini. Kalau suasana kebatinannya masih seperti itu dan kemudian ada niat dan semangat untuk merevisi UUD 1945 apa jadinya???

Jujur, agak ragu kalau ada rencana untuk merivisi lagi UUD 1945. Membuat UU saja sarat dengan penumpang gelap yang sengaja menitipkan kepentingannya ditambah lagi belum matangnya sikap kenegarawanan anggota parlemen sehingga UU yang dilahirkan menjadi tidak berkualitas, bahkan terakhir ini banyak yang dianulir oleh Mahkamah Konstitusi (MK).

Apalagi mau merevisi UUD 1945. Sebagai warga negara biasa, hanya bisa berharap semoga “syahwat” untuk merevisi kembali UUD 945 bisa diurungkan. Terngiang dalam pikiran jernih, apa tidak lebih baik seluruh tokoh elit bangsa atas prakarsa MPR melakukan dulu “rekonsiliasi nasional” agar kehidupan berbangsa dan bernegara ini tidak terus menerus saling curiga, saling jagal dan tanpa terasa ternyata di antara warga negara sudah saling menebar permusuhan dan dalam skala tertentu saling bunuh.

People power sudah pernah kita alami, tapi hasilnya tidak seperti yang diharapkan. Pilihan ini harus kita buang jauh-jauh karena pasti akan chaos karena pola dan struktur kehidupan politik kita tidak sehat dan rapuh. Setelah proses rekonsiliasi berjalan dan harapannya sukses, maka pada fase berikutnya dilakukan loka karya nasional untuk membangun konsensus nasional dan membuat “perjanjian baru” mengenai “Ke-Indonesiaan” sebagai negara demokrasi yang semangatnya tentu seperti apa yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945 dan ideologi Pancasila.

Rasanya lima sila dari Pancasila hingga dewasa ini statusnya masih berada dalam bingkai das sollen, belum total diterjemahkan dalam tataran das sein. Semoga bermanfaat. ***

CATEGORIES
TAGS