Ulah Pejabat Publik yang Arogan

Loading

Oleh: Fauzi Azis

Ilustrasi

SEJAK reformasi 1998, ego sektoral antar kementerian/lembaga makin kuat terjadi. Penguatan ini akibat dari cara pembuatan Undang-undangnya sendiri yang memungkinkan semuanya itu terjadi. Sistem perundang undangan yang ada selalu memberikan legitimasi yang kuat bagi kementerian/lembaga menjalankan kewenangannya dalam pemahaman bahwa setiap undang-undang (UU) yang dibuat seakan-akan UU tersebut miliknya kementerian/lembaga yang bersangkutan.

Seharusnya tidak bisa dan tidak boleh dibuat dengan cara seperti itu, karena UU adalah milik kita semua yang pada dasarnya mengikat secara hukum bagi seluruh komponen bangsa. Proses selanjutnya sudah barang tentu akan makin memperkuat eksistensi kementerian/lembaga yang bersangkutan tatkala aturan pelaksanaan mulai dari pembuatan PP sampai keputusan di bawahnya dirampungkan.

Kementerian/lembaga tersebut akibatnya menjadi “superbody”. Ini realitas yang terjadi. Akibatnya ketidak pastian dan in efisiensi pelayanan birokrasi terjadi dimana-mana dan hal ini merugikan masyarakat luas. Contoh nyata adalah ego sektor yang dilakukan oleh Kementrian Lingkungan Hidup (KLH) dalam menangani masalah impor scrap baja yang diperlukan oleh industri baja nasional.

KLH menganggap scrap baja mengandung limbah B3 sehingga pemeriksaan importasinya dilakukan dengan ketat. Ditjen Bea dan Cukai tidak mau dipersalahkan dan dia mengambil sikap jika sudah ada clearence dari KLH maka kontener yang ditahannya akan dibebaskan. Mekanisme yang seperti ini menjadi buruk akibatnya.

Inilah contoh kementerian yang ego sektornya kuat sekali dan merasa dirinya sebagai lembaga superbody. Akibat penyelesaian masalah impor scrap baja yang tidak ada kepastian tersebut, maka industri baja nasional menurunkan target produksi 25-30%.

Menyakitkan sekali. Industri baja nasional harus berkorban begitu besar bukan karena pasar dalam negeri yang sepi, tapi karena ulah pejabat publik yang arogan dan merasa sebagai lembaganya yang superbody dan bekerja memakai kacamata kuda.

Tidak peduli industrinya mau bangkrut atau tidak. Itu bukan urusan gue. Kasus yang lain tentu banyak sekali kita temukan, seperti dalam pelaksanaan UU perpajakan,yang menempatkan posisi Ditjen Pajak lebih hebat dari Kementerian Keuangan sebagai bosnya. Kalau mau obyektif, pemerintah sebenarnya tidak bisa serta merta dipersalahkan karena proses legislasi menjadi tanggung jawabnya DPR dan karena itu parlemen harus ikut bertanggung jawab atas terjadinya kemelut dalam pelaksanaan kebijakan yang notabene selalu merujuk kepada UU terkait.

Namun demikian, tidak berarti pemerintah kemudian hanya pasrah dan cenderung mengulur waktu dalam menyelesaikan berbagai masalah yang terjadi di masyarakat. Tetap saja, sebagai pemerintah harus mengambil kebijakan dan suara pemerintah harus satu, yaitu menyetujui atau menolak dalam kaitan kasus soal penahanan scrap baja.

Di tingkat eselon satu, hampir pasti tidak akan selesai. Di tingkat menteri mudah-mudahan bisa selesai, meskipun tidak ada jaminan. Kalau level menteri juga tak selesai, mau dibawa ke level mana lagi kalau tidak ke presiden.

Pelajaran berharga yang dapat ditarik dalam pengalaman tersebut ada dua hal yang dapat dilakukan. Pertama, kebijakan ekonomi yang bisa dianggap strategis penopang pertumbuhan dan berpotensi terganjal oleh arogansi sektoral, pengaturannya dilakukan dengan membuat Perpres, tidak dalam bentuk peraturan menteri masing-masing.

Kedua, mau tidak mau,suka tidak suka DPR harus melakukan kaji ulang terhadap seluruh UU yang sudah dihasilkan terutama yang berpotensi menimbulkan arogansi sektoral. UU atau peraturan pelaksanaan dibuat bukan untuk menimbulkan masalah, tetapi untuk menyelesaikan sejumlah masalah.

Di dunia, tidak ada kebijakan pemerintah yang beragam-ragam untuk mengatasi satu masalah, tapi harus satu ragam saja dan suara pemerintah-pun hanya satu yang mengikat untuk seluruh pemangku kepentingan. ***

CATEGORIES
TAGS