Takut
Oleh: Fauzi Azis

Ilustrasi
TAKUT adalah ekspresi kejiwaan yang dapat bersemi pada diri seseorang. Siapa pun mereka dan apa pun kedudukannya di masyarakat. Omong kosong kalau orang sering mengatakan kenapa takut. Sering juga kita dengar dalam keseharian nggak usah takut, hadapi saja, paling cuma gertak sambal.
Oleh karena itu, kita harus jujur dan tidak usah munafik bahwa pada diri kita bersemi sebuah fenomena psikologis yang kita sebut takut. Beragam ekspresi fisik maupun psikis tatkala seseorang dihinggapi rasa takut. Ada wajah pucat, keluar keringat dingin, salah tingkah, berteriak dan menangis.
Ekpresi rasa takut semacam itu umumnya terjadi karena memang secara fisik dan kejiwaan bersangkutan merasa takut. Ada yang takut naik pesawat terbang, takut naik jet coster, takut disuntik, takut melihat makhluk halus, takut binatang buas dan takut lainnya. Perasaan takut semacam ini jamak saja terjadi dan tidak perlu dipersoalkan atau mesti repot cari dokter atau dukun untuk mengobati rasa takut. Buang-buang ongkos saja.
Rasa takut semacam itu masih bisa disiasati bukan dalam kaitan supaya menjadi pemberani, tetapi masih bisa dicarikan alternatif lain agar seseorang tidak menjadi takut karena masih tersedia sarana atau media lain yang dapat digunakan untuk mengkompensasi rasa takutnya oleh dirinya sendiri.
Misal kalau seseorang takut naik pesawat terbang, hampir pasti orang itu tidak memilih jadi pilot atau penerbang. Dalam sisi kehidupan manusia yang lain di dunia terdapat fenomena yang unik, yaitu sikapnya pemberani tapi pada saat yang sama dia penakut juga. Kelompok manusia yang tergolong pemberani tapi penakut, adalah para pencuri, penipu, koruptor dan mungkin masih banyak lagi.
Mereka ini pemberani imitasi. Dan sebenarnya mereka itu bukan pemberani dan bukan pula penakut. Mereka adalah pengecut. Buktinya, mereka ini berani berbuat, tapi takut mempertanggungjawabkan apa yang telah dilakukannya. Mereka takut ditangkap aparat penegak hukum karena perbuatannya melanggar hukum. Mereka takut pulang ke rumah sendiri, karena takut dimarahi orang tua, bahkan tetap menganggap dirinya benar, malah menyalahkan orang lain.
***
Pada dimensi kehidupan yang lain ada fenomena ketakutan yang lebih unik, yaitu takut mengambil keputusan. Proses pengambilan keputusan adalah bagian penting dari proses manajemen dalam menjalankan fungsinya, baik dalam rangka menjalankan fungsi perencanaan, fungsi pelaksanaan dari sebuah rencana dan fungsi pengendalian dan pengawasan.
Di setiap fungsi pasti ada proses-proses pengambilan keputusan karena mekanisme harus demikian. Kalau tidak ada pengambilan keputusan, mana mungkin sebuah rencana memiliki dasar legalitas.
Demikian pula pada fungsi pelaksanaan, pengendalian dan pengawasan, pasti ada pengambilan keputusan agar fungsi-fungsi ini dapat dijalankan sesuai rencana. Andaikata dalam proses manajemen tadi tidak ada pengambilan keputusan karena berbagai alasan, salah satu diantaranya karena “takut”, (takut salah atau takut menimbulkan gejolak).
Persoalannya, kalau proses pengambilan keputusan ini dibayang-bayangi perasaan “takut”, maka bisa berabe karena berarti siklus manajemen tidak berjalan dan ini bisa berdampak terjadinya stagnansi dan penumpukan permasalahan di satu waktu dan kalau durasi waktu penumpukan maslah itu makin panjang, maka akan terjadi akumulusi gunung es.
Belum lagi momen-momen penting akan terlewatkan begitu saja yang disebabkan sebuah keputusan penting tidak segera diambil pada saat yang tepat. Para pakar manajemen seringkali menyatakan bahwa bentuk-bentuk keputusan penting dalam sebuah organisasi yang misalnya berupa langkah-langkah nyata dan strategis untuk mengatasi berbagai masalah organisasi, adalah harus dijalankan karena bisa menimbulkan gangguan akut sebagai akibat roda organisasi tidak berputar dengan baik.
Pelajaran berharga yang dapat ditarik dari fenomena tentang “takut” ini, ada sejumlah kesimpulan yaitu
1) Rasa takut harus jujur diakui selalu ada dan bersemi dalam kehidupan seseorang. Fenomena ini tidak harus susah payah dicari cara tertentu untuk menjadikan seseorang itu “berani”. Secara kebahasaan memang betul lawan kata takut adalah berani. Tetapi secara kejiwaan, rasanya tidak bisa dipadankan seperti itu. Takut ya takut, berani ya berani. Keduanya anggap saja sudah fitrahnya, udah dari sononya.
Jadi jangan sekali kali memaksakan kehendak untuk mengubah orang penakut menjadi pemberani. Dia bisa mati berdiri, bisa kencing sambil berlari-lari dan ini yang penting, jangan nambah nakut-nakuti orang yang jiwanya penakut.
2) Takut sebagai suatu “fitrah” pada diri manusia memang suatu yang seharusnya. Manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhannya memang wajib takut kepada-Nya, dalam pengertian, manusia itu harus menjalankan perintah-Nya dan wajib menjauhi dan meninggalkan segala sesuatu yang menjadi larangan-Nya. Inilah konsepsi “Takut” dalam prespektif hukum Tuhan. Konsepsi ini sejatinya juga berlaku dalam hukum dan aturan ciptaan manusia, hanya saja dalam hukum buatan manusia, suka ada yang jahil, yaitu suka menyisipkan pasal-pasal karet atau bahkan pasal-pasal yang lebih menguntungkan kelompok tertentu.
3) Kalau konsepsi takut kita kaitkan dengan pengertian seperti terurai di atas, maka sangat baik dan bijaksana bilamana konsepsi takut seperti yang kita fahami sehari-hari menjadi tidak relevan. Oleh karena itu, marilah kita bersama-sama berfikir jernih dan bijaksana untuk tidak sering-sering berolok-olok sesama kita, apakah diri kita sebagai orang biasa atau ada diri orang lain yang kebetulan menjadi pemimpim tentang fenomena takut dan berani.
Bukan ini persoalannya. Yang terpenting adalah mari kita mendorong kebaikan agar para saudara kita yang sekarang mendapat amanah menjadi pemimpin. Kita doakan pagi, siang dan malam agar mereka sanggup menjalankan apa yang telah diperintahkan Tuhan kepadanya. Jadi kita dorong agar para pemimpin menjalankan wewenang dan tanggung jawabnya sesuai semangat konstitusi dan hukum. Bukan soal takut versus berani. ***