Surat Berharga Tanggungjawab Penandatangan

Loading

Oleh: Marto Tobing

ilustrasi

ilustrasi

MANTAN Menteri Kordinator Perekonomian Rizal Ramli melontarkan kecamannya, bukan waktunya lagi bertele-tele dalam menyelesaikan kasus bailout Bank Century (BC) yang menyebabkan kerugian negara senilai Rp 6,7 triliun.

Sebab, menurut pria yang juga pernah menjabat menteri keuangan (Menkeu) itu, Surat Kuasa Pemberian Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) terhadap BC yang ditandatangani oleh Boediono merupakan bukti kuat atas keterlibatan dirinya selaku Gubernur Bank Indonesia (BI). “Setiap surat berharga adalah mutlak tanggungjawab penandatangan,” tegas Rizal mengisyaratkan betapa kuatnya peranan Boediono.

“Penandatanganan surat kuasa menurut saya itu betul-betul bukti yang menjelaskan peranan Boediono. Maka menurut saya sudah waktunya memperjelas kasus BC yang terlalu lama dan bertele-tele,” jelas Rizal kepada pers seusai menjalani pemeriksaan di Gedung KPK Kuningan Jaksel Jumat (12/4). Bahkan Rizal menyebut jika dalam kasus besar seperti ini motif yang digunakan para pelaku biasanya bukan hanya bermotif uang tetapi juga bisa dalam bentuk jabatan.

“Kami berharap KPK sudah waktunya mempertegas status kasus BC. Karena semua orang dihadapan hukum sama. Siapa pun baik presiden, menteri mau pun wakil presiden sama,” tegas Rizal senada menyindir ke arah wakil presiden itu.

Bailout BC senilai Rp 6,7 triliun dilakukan dengan dalih untuk menyelamatkan perekonomian bangsa Indonesia paska krisis moneter pada tahun 1998, dimana disebut oleh Menkeu Sri Mulyani (SM) hal itu perlu dilakukan karena jika tidak akan menimbulkan dampak sistemik bagi perekonomian Indonesia.

Namun belakangan diketahui terjadi penyimpangan terkait pemberian bailout tersebut. Pasalnya dampak sistemik tidak terjadi walau pun bailout tidak diberikan kepada BC. Persyaratan sebagai pemberian bailout tersebut juga ditemukan kejanggalan. BC sendiri kini telah berganti nama menjadi Bank Mutiara.

Rekaman jejak Tubas mencatat peristiwa awalnya terjadi pada 13 November 2008 pagi, saat BC kolaps alias bangkrut akibat kalah kliring. Namun sore harinya Presiden SBY bersama rombongan termasuk Menkeu SM terbang menuju Washington Amerika Serikat untuk menghadiri pertemuan G.20.

Keesokan harinya tepatnya pada 14 November 2008 SM melaporkan kondisi BC tersebut kepada SBY dan hari itu juga SM kembali ke Tanah Air dan tiba pada 17 November 2008. Keadaan gawat. Sejumlah tindakan genting harus diambil. Sejumlah rapat dengan Gubernur BI ketika itu dijabat oleh Boediono harus segera digelar. Pukul 3.30 WIB, Rabu 26 November 2008, udara terasa dingin Bandara Halim Perdana Kusuma Jakarta pun sepi. Pesawat Airbus A330-341 mendarat dengan mulus.

Setelah melewati penerbangan meletihkan 30 jam dari Lima Peru, Presiden SBY dan rombongan turun dari pesawat. Wapres Yusuf Kalla (YK) menyambut SBY dan rombongan di tangga pesawat. Selama SBY melakukan missi 16 hari ke luar negeri yakni ke AS, Meksiko, Brasil, dan Peru, YK diberi mandat memimpin negara dan pemerintahan.

Sebagai pelaksana tugas kepresidenan, YK melaporkan antara lain soal kasus BC bagaimana SM dan Boediono menangani BC. YK juga melaporkan telah memerintahkan Kapolri untuk menangkap Robert Tantular selaku pemilik BC. Ini perampokan.

“Baik…baik,” begitu reaksi Presiden merespons laporan YK soal perampokan dana triliunan dimaksud. Kasus moral hazard yang merusak sistem perbankan di Indonesia seperti kasus BC yang melibatkan pemilik bank, BI, Depkeu dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) itu semakin heboh.

“Perampokan” bank itu sendiri telah merugikan dana masyarakat yang berada di LPS sebesar Rp 6,78 triliun. Pada Desember 2004 Bank Pikko, Bank Danpac dan Bank CIC melakukan merger menjadi BC. Berdasarkan hasil pemeriksaan BI dalam kurun aktu tahun 2005 hingga 2008 BC mengalami berbagai permasalahan terutama berkaitan dengan kepemilikan Surat-Surat Berharga (SSB) berkualitas rendah, dugaan pelanggaran Batas Maksimal Pemberian Kredit (BMPK) oleh pengurus bank dan dugaan pelanggaran Posisi Devisa Neto (PDN).

Sejak 29 Desember 2005 BC dinyatakan berada dalam pengawasan intensif oleh BI karena permasalahan terkait SSB dan perkreditan yang berpotensi menimbulkan kesulitan keuangan serta membahayakan kelangsungan usaha bank. Kemudian pada 6 November 2008 BI menetapkan BC sebagai bank dalam pengawasan khusus dengan posisi rasio kewajiban penyediaan modal minimum atau capital adequacy ratio (CAR) saat itu 2,35%.

Untuk mengatasi kesulitan likuiditas yang dihadapinya pada 14, 17 dan 18 November 2008 BC menerima FPJP dari BI dengan jumlah keseluruhan sebesar Rp 689 miliar. Setelah menerima FPJP kondisi BC terus memburuk yang ditandai dengan menurunnya CAR per 31 Oktober 2008 menjadi negatif 3,53%. Sehingga dalam Rapat Dewan Gubernur pada 20 November 2008 BI menetapkan BC sebagai bank gagal yang ditengarai berdampak sistemik. Benarkan berdampak sistematik? Wallahualam. ***

CATEGORIES
TAGS

COMMENTS