Struktur Kebijakan yang Kredibel
Oleh: Fauzi Aziz

Fauzi Aziz
TIADA henti-hentinya kita diberikan pencerahan oleh pemerintah, bahwa ekonomi Indonesia aman dari pengaruh krisis global. Indonesia tetap optimis mencatat pertumbuhan ekonomi yang positif tahun 2013. Angkanya diproyeksikan bisa mencapai 6,8%. Pasar domestiknya cukup menjanjikan dan terbukti, ekonomi tumbuh dengan penyumbang utama pengeluaran belanja konsumsi rumah tangga.
Inilah yang berulangkali kita dengar dari petinggi negara ketika merilis capaian kinerja ekonomi di setiap tahun. Tanpa “membangun”, ekonomi bisa tumbuh, bukankah begitu? Bagaimana kalau negeri ini bisa membangun infrastruktur seperti di China, berapa persen ekonominya bisa tumbuh? Mungkin bisa di atas 7%.
Kebanggaan itu sejatinya “semu”, karena capaian kinerjanya tidak berhasil mendongkrak investasi di sektor riil. FDI datang baru pada tahap mencatatkan diri secara administratif melalui mekanisme perizinan di BKPM. Statusnya dari sisi calon investor masih wait and see untuk merealisasikannya. Padahal mereka berharap ingin menggapai bisnis GDP yang besar di republik ini.
Sementara itu, keberadaan dari existing industry, mereka masih bisa bekerja dengan ongkos yang mahal, alias daya saingnya menjadi sulit didongkrak. Jika demikian, maka berindustri di negeri ini posisinya maju kena mundur kena. Ada komitmen untuk memperbaiki dan mencari solusi, tapi aneh, tidak bisa berbuat banyak, padahal mandat dan kekuasaan secara penuh telah diberikan untuk mengambil keputusan penting dan strategis.
Momen-momen penting dan sangat bernilai guna tinggi dibiarkan berlalu begitu saja. Kalau di tingkat korporasi terjadi fenomena pengambilan keputusan bisnis yang karakternya seperti itu, bisa berabe. Harga sahamnya bisa jeblok. Indeks persepsi konsumen bisa rontok dan paling sadis, bisa-bisa CEO-nya dilengserkan.
Pertanyaan yang harus dijawab oleh para penguasa di negeri ini sekarang (yang tinggal 1,5 tahun berkuasa) dan calon penguasa yang akan datang, kemana pembangunan ekonomi Indonesia akan dibawa? Mau membangun ekonomi Indonesia atau hanya sekedar ada pembangunan ekonomi di Indonesia ? Siapapun yang melakukannya tidak penting dipersoalkan.
Sekali pilihan itu dijatuhkan, maka konstruksi dan struktur kebijakannya akan berbeda. Membangun ekonomi Indonesia, nuansa untuk mengoptimalkan penggunaan sumber daya nasional sebagai mesin pertumbuhan sangat kuat. Kekuatan asing diundang hanya sebagai pelengkap. Sebaliknya kalau hanya sekedar ada pembangunan ekonomi di Indonesia, maka FDI akan ditempatkan pada posisi sentral sebagai penggerak pertumbuhan.
Hal yang demikian, konstruksi dan struktur kebijakan yang dibangun pasti berlandaskan azas liberalisasi dan pasar bebas. Segala macam bentuk insentif selalu membuka akses impor yang seluas-luasnya. Nilai tambah pasti akan mereka nikmati untuk kepentingan negara asal FDI dan perusahaannya.
Begitu diberlakukan sistem dis-insentif, misal pembatasan ekspor bahan tambang, mereka pasti menolak. Kalau konstruksi dan struktur kebijakannya dibangun untuk membangun ekonomi Indonesia, maka pasti akan ada faktor kepemihakan pada setiap kebijakan yang akan diambil oleh pemerintah (memihak pada kepentingan nasional).
Oleh sebab itu, ke depan, pemerintahan yang baru harus tegas mengambil sikap dalam menetapkan kebijakan ekonomi Indonesia. Konstruksi dan struktur kebijakannya harus kredibel dan sesuai dengan amanat pasal 33 UUD 1945, yakni harus dituangkan dalam bentuk Undang-undang.
Peraturan perundangan yang lain apakah dalam bentuk UU atau PP maupun perpres dan turunannya secara taat azas harus tunduk pada undang-undang “induk” yang mengatur tentang pembangunan ekonomi Indonesia. Undang-undang yang sudah ada di bidang ekonomi jika pengaturannya berlawanan dengan UU tentang pembangunan ekonomi Indonesia, harus direvisi.
Mudah-mudahan presiden terpilih dan legislator terpilih 2014 lebih punya nyali untuk merumuskan kebijakan negara yang kredibel tentang membangun ekonomi Indonesia, bukan hanya sekedar ada pembangunan ekonomi di Indonesia. ***