Rasa Keadilan Koruptor vs Rasa Keadilan Rakyat

Loading

Oleh: Marto Tobing

Ilustrasi

Ilustrasi

RASA keadilan yang juga sebagai hak bagi para terdakwa kejahatan korupsi tidak boleh diabaikan, namun tentu saja tanpa mengesampingkan rasa keadilan rakyat. Tapi bicara soal rasa keadilan rakyat juga harus hati-hati. Sebab orang bijak mengatakan, kalau bicara soal rasa keadilan rakyat, kita harus mempertanyakan lagi, rakyat yang mana?

Pastinya, tidak adil juga bahkan telah mencederai rasa keadilan itu sendiri, kalau para “tikus” penggerogot keuangan negara dengan enaknya divonis bebas. Bahkan bisa diprediksikan negara ini akan “bubar” jika para koruptor tetap bisa melenggang bebas. Bagaimana Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berpegang pada komitmennya setiap kejahatan korupsi yang ditangani tidak akan bisa lepas dari jerat hukum ?

Menurut anggota KPK, Chandra Hamsyah dari sekian banyak, baru pertama kali kasus korupsi yang ditangani KPK divonis bebas. Majelis hakim Pengadilan Tipikor Bandung membebaskan Wali Kota Bekasi Mochtar Mohammad (MM) dari dakwaan korupsi yang sebelumnya dituntut hukuman 12 tahun penjara. Namun vonis bebas itu belum in ckracht (berkekuatan hukum tetap) menyusul Kasasi yang diajukan KPK ke MA.

Menurut Chandra ada beberapa hal yang patut disayangkan atas pandangan yang tidak pas terhadap UU No. 3799 pasal 20 yang menyatakan untuk pegawai negeri tidak bisa dikenakan pasal 2. “Padahal dalam pasal tersebut dengan tegas dinyatakan bagi setiap orang. Tidak ada menyatakan pengecualian bagi siapa saja termasuk pegawai negeri,” jelas Chandra.

Kasus yang menjerat MM, terkait penyalahgunaan dana PBB dan penyuapan. Namun fakta-fakta yang dikemukakan KPK tidak dipertimbangkan majelis hakim berujung pada vonis bebas, sementara pemberi suap telah divonis hukuman penjara.

Gejolak tingkat keresahan masyarakat yang semakin meluas akibat maraknya vonis bebas terhadap terdakwa kasus korupsi yang “dihadiahkan” Pengadilan Tipikor di daerah, tidak fair jika semua itu ditimpakan ke pundak para hakim yang menyidangkan. Sebab hati nurani hakim akan “menggugat” dengan acuan filosofi: “Lebih baik membebaskan seratus orang yang bersalah dari pada menghukum satu orang yang tidak bersalah”. Tudingan terselubung ke arah kejaksaan selaku penyidik tunggal kasus korupsi di samping kewenangan KPK langsung direspon Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung (JAM Pidsus Kejagung) Andhi Nirwanto.

Seraya memaparkan data statistik tingkat keberhasilan penindakan penuntut umum terhadap para terdakwa kejahatan korupsi yang dihadapkan ke meja hijau, Andhi menolak kalau kelemahan dimutlakkan ke pundak jaksa. “Saya yang juga selaku jaksa merasa prihatin atas putusan-putusan bebas yang dijatuhkan para hakim itu. Namun secara lembaga institusional kami sangat menghargai atas putusan bebas tersebut. Untuk itu semua kami sedang mengajukan Kasasi. Nanti kita lihat saja hasilnya di tingkat Kasasi,” jelas Andhi.

Mengutip ketentuan KUHAP, ada tiga jenis putusan yakni putusan bebas murni (sama sekali tidak terbukti), putusan dilepas demi hukum (onslag) dan dihukum. Untuk tiga kategori hukuman tersebut, Andhi tidak melihat adanya putusan bebas murni atas perkara yang diajukan jaksa, selain vonis bebas dalam artian onslag. Keberhasilan itu dikuatkan fakta sesuai data yang dikemukakan Andhi ke publik. Pada tahun 2009 kejaksaan menyidik perkara korupsi 1609 perkara. Dari jumlah tersebut sebanyak 1412 perkara dituntut hukuman penjara yang divonis bebas (onslag) 18 perkara.

“Ini artinya kalau dipresentasikan berarti 1,274 persen yang bebas,” tambah Andhi. Pada tahun 2010 kejaksaan menyidik sebanyak 2297 perkara korupsi, dituntut 1684 perkara dan divonis bebas (onslag) 80 perkara yang berarti 4,750 persen, keberhasilan mencapai 96 persen. Tahun 2011 sampai Oktober sebanyak 1309 perkara korupsi yang dituntut 942 perkara dan divonis bebas (onslag) 37 perkara.

Putusan bebas onslag kasus korupsi yang diajukan kejaksaan menureut Andhi, semata-mata adanya perbedaan persepsi antara jaksa dengan hakim. “Jadi bukan karena fakta-fakta pembuktian melainkan karena perbedaan persepsi soal pemahaman materi undang-undang,” tegas Andhi. ***

CATEGORIES
TAGS