Penjaga Harga
Oleh: Fauzi Azis

Ilustrasi
DALAM sistem perekonomian yang menganut mekanisme pasar, istilah seperti penjaga harga, kontrol harga, dan kontrol devisa hampir tidak dikenal. Semua diserahkan kepada hukum pasar, yaitu supply dan demand. Saat demand tinggi, harga-harga pada umumnya akan naik. Sebaliknya di saat suplai barang berlebih, dan permintaannya turun atau minimal konstan saja, maka harga barang cenderung turun.
Fenomena ini secara teoretis benar, tapi secara praktis belum tentu benar. Realitas di lapangan tidak serta-merta terjadi seperti itu. Bisa saja permintaan tinggi, suplai cukup, tapi harga naik. Penyebabnya bisa terjadi, karena dua hal yaitu ada gangguan di sistem distribusi atau disebabkan penimbunan yang secara sengaja dilakukan pihak distributor dan pedagang, hampir jarang terjadi penimbunan barang di tingkat produsen.
Pelajaran yang dapat ditarik dari fenomena tersebut adalah bahwa sistem ekonomi dan kebijakan ekonomi yang dianut dan dijalankan oleh suatu negara tidak tunduk pada satu doktrin ekonomi saja. Apakah itu sistem ekonomi pasar yang bersifat liberal atau sistem ekonomi terpimpin atau doktrin ekonomi yang lain. Banyak para ahli ekonomi di banyak negara, termasuk di Indonesia, terlalu “mendewakan” pada sistem ekonomi yang dianutnya dan celakanya mereka acapkali sangat yakin bahwa sistem ekonomi pasar adalah yang paling tepat diterapkan untuk merumuskan kebijakan ekonomi negaranya.
Dalam praktik hukum suplai dan permintaan tidak selamanya terjadi seperti apa yang ada dalam teori. Acapkali dijumpai harga suatu produk di pasar (misalnya minyak) tidak lagi mencerminkan seperti apa yang digambarkan dalam hukum pasar karena ada faktor spekulasi. Akibatnya harga yang terbentuk dapat diarahkan ke kisaran tertentu dan pasti tidak mencerminkan harga yang sebenarnya.
Situasi yang demikian memberikan pelajaran kepada kita bahwa teori ekonomi atau lebih spesifik tentang mekanisme pasar, sebenarnya secara praktis tidak lagi sepenuhnya dapat berfungsi. Dia akan dapat bekerja optimal bila persaingan itu bersifat sempurna. Padahal, pada kenyataannya pasar tidak ada yang sempurna. Dalam keadaan demikian, pemerintah harus melakukan intervensi agar beban ekonomi yang ditimbulkan akibat gejolak harga tidak merugikan masyarakat yang tingkat pendapatan dan daya belinya rendah, termasuk masyarakat yang miskin.
Fakta yang terjadi di lapangan, membuktikan bahwa sudah seharusnya para pengambil kebijakan di bidang ekonomi memiliki kepekaan yang tinggi terhadap kondisi pasar yang tidak stabil, khususnya untuk bahan kebutuhan pokok. Teori ekonomi sebagai sebuah ilmu bisa saja bersifat “netral”. Tapi, rumah tangga ekonomi dalam praktik tidak selalu bisa bersifat netral karena berbagai sebab. Yang pasti salah satu penyebabnya, adanya faktor kepentingan.
Sangat Subjektif
Semua aspek kehidupan kalau sudah bertemu dengan persoalan kepentingan hampir pasti tidak akan dapat bersikap netral dan menjadi sangat subjektif. Oleh karena itu, perlu adanya penyikapan yang bersifat luwes dan tindakan yang diambil harus mengandung nilai kebijakan dari setiap kebijakan ekonomi yang akan diambil dan ditetapkan oleh pemerintah. Tujuannya hanya satu, yaitu untuk melindungi dan memberikan rasa keadilan bagi sebagian masyarakat yang kurang “beruntung”.
Dengan kata lain, teori ekonomi boleh dirumuskan dalam istilah apa saja, tapi pada saat teori tersebut akan ditransformasikan ke dalam kebijakan ekonomi, maka sikap yang bijaksana perlu diambil, yakni dapat menyesuaikan dengan kebutuhan riil di masyarakat. Dalam dunia nyata, para ahli ekonomi dan para pengambil kebijakan ekonomi harus bisa bersikap realistis dalam merumuskan kebijakannya. Kebijakan ekonomi suatu negara tidak bisa didedikasikan secara serta-merta kepada satu doktrin ekonomi.
Jauh lebih penting jika didedikasikan untuk dapat menjawab problem ekonomi yang dihadapi masyarakat. Kebijakan ekonomi suatu negara tidak pernah akan sama dan sebangun dengan kebijakan ekonomi di negara lain. Apalagi, misalnya, harus distandardisasi, di mana semuanya harus mengacu kepada satu pendekatan, yaitu liberal atau mekanisme pasar. Karena itu, fleksibilitasnya sangat diperlukan sesuai dengan kondisi di masing-masing negara.
Kebijakan penyangga harga, kontrol harga, atau kontrol devisa bukan kebijakan yang salah, karena dianggap tidak sesuai dengan semangat mekanisme pasar. Demikian pula kalau misalnya suatu negara neraca pembayarannya terancam, boleh saja pemerintah yang bersangkutan mengambil kebijakan pengamanan ekonomi domestiknya. Kebijakan di bidang apa pun pada dasarnya sangat kondisional. Artinya, apa pun yang diputuskan sangat dipengaruhi oleh faktor ruang dan waktu.
Contoh, kemarin-kemarin rupiah kita mengalami penguatan terhadap mata uang dolar, sekarang ada kecenderungan rupiah kita mengalami pelemehan terhadap dolar. Maka, kita semua harus menyadari dan wisdom kita harus mengedepan bahwa sudah waktunya negeri ini memiliki platform dan identitas tentang sistem ekonomi yang akan dijalankan.
Negara tidak dilarang menetapkan kebijakan tentang harga, tentang subsidi, tentang pengaturan impor dan ekspor, tentang suku bunga, dan lain-lain. Sekali kebijakan diambil, maka policy itu bukan lagi miliknya suatu kementerian, tapi diputuskan untuk atas nama pemerintah dan negara, guna merespons tantangan dan masalah yang dihadapi bangsa dan negara. Akhirnya, hal yang paling dibutuhkan bukan soal doktrin ekonomi, tetapi kebijakan ekonomi yang tepat.
Kalau kebijakan harga dianggap tepat sebagai instrumen negara untuk mengatasi masalah disparitas, maka semua pihak harus dapat menerima dengan legowo. Dan bilamana pada waktu yang berbeda dianggap tidak tepat lagi, maka kebijakan tersebut harus dikoreksi dan diperbaiki lagi, begitu seterusnya. Jadi, kebijakan yang baik bukan berbicara soal salah dan benar, tetapi lebih baik dipahaminya, apakah tepat atau tidak tepat suatu kebijakan diambil. Tepat waktu, tepat sasaran, dan menyelesaikan masalah. ***