Pengucuran Dana Talangan Bank Century Kebijakan Abnormal
Oleh: Marto Tobing

PUBLIK menilai pengucuran dana talangan besarnya Rp 6,7 triliun demi penyelamatan Bank Century (BC) adalah tindak kebijakan yang abnormal atau di luar nalar akal sehat. Bahkan kasus BC ini adalah perkara yang memiliki keistimewaan karena penyelidikannya paling lama dan mendapat perlakuan khusus DPR.
Namun, pertemuan Tim Pengawas DPR dengan KPK soal seberapa jauh perkembangan penyelidikan kasus BC ini terutama penelusuran bukti-bukti ditingkatkan ke proses penyidikan mulai terjawab. Dari hasil proses report, KPK sudah membidik dua mantan Deputi Gubernur BI, Budi Mulya dan Siti Fadirijah distatuskan sebagai tersangka. Keduanya dinilai harus bertanggungjawab atas kebijakan pemberian Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) kepada BC.
Namun publik tetap berprasangka benarkah penetapan KPK atas kedua tersangka itu hanya karena tekanan politik dari kalangan politisi DPR yang multifraksi itu..? Kecurigaan terarah pada salah satu partai berkuasa. Jadi bukan semata penegakan hukum murni atau umtuk kepentingan pemulihan kinerja BC melainkan diasumsikan hanya sebagai penyelesaian politik belaka. Sebab kasus menghebohkan itu baru mampu menetapkan dua tersangka pada akhir 2012 sebagai wujud janji politik KPK ke DPR dan publik. Indikasi politisasi hukum atau tarik menarik antara penegakan hukum dan kepentingan politik semakin telanjang.
Pemberian dana talangan kepada BC itu diputuskan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) yang dibentuk berdasarkan Perppu No. 4 Tahun 2008 tentang Jaringan Pengamanan Sistem Keuangan (SPSK), menetapkan BC sebagai bank gagal berdampak sistemik. Eksistensi KPK jadi polemik karena Perppu JPSK itu ditolak DPR pada 18 Desenber 2008. Kebijakan pemberian dana talangan dalam bentuk FPJP ini keputusan KPK secara kolegial bukan BI semata.
Kebijakan FPJP itu tindakan aparatur negara sebagai kebijakan negara atau staat beleid yang tak dapat dinilai oleh disiplin ilmu hukum pidana karena aparatur pelaksananya (overheidsbeleid) adalah ranah hukum administrasi negara. Kebijakan itu dikeluarkan dalam kondisi mendesak, urgen dan darurat sehingga secara substansial bertentangan dengan peraturan tertulis.
Karena itu kebijakan abnormal ini tidak dapat dinilai dengan produk regulasi jika dalam keadaan normal. Baik terhadap unsur penyalahgunaan wewenang mau pun tindakan melawan hukum termasuk substansi kebijakannya masuk dalam ranah hukum administrasi negara selain hukum pidana. Karakter perbuatan yang sama diantara kedua disiplin hukum inilah yang kemudian menjadi wilayah abstrak sebagai kriminalisasi kebijakan.
Awalnya, BC mengalami krisis keuangan internal yang nota bene diasusmsikan berpotensi berdampak sistermik. Atas asumsi itulah bank gagal ini diselamatkan. Melalui Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dilibatkanlah Gubernur BI dan Menkeu untuk mengucurkan dana talangan hampir Rp 6,7 triliun. Karena dicurigai terjadi penyimpangan, DPR meminta agar KPK melakukan penelitian, apakah terjadi penyalahgunaan wewenang dan perbuatan melawan hukum dalam proses penetapan kebijakan pemberian FPJP ini dalam konteks Pasal 2 dan Pasal 3 UU. No. 31 Tahun 1999 jo UU.No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Terkait perdebatan soal kriminalisasi kebijakan dalam kaitan kasus tindak pidana korupsi lembaga judikatif pun memiliki pandangan dan interpretasi berbeda dalam kaitan kebijakan dapat-tidaknya dikriminalisasikan.
Bandingkan dengan kaitan penyaluran dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Putusan MA yang diketuai Bagir Manan mengakui, BLBI merupakan suatu kebijakan pemerintah tetapi MA menghukum para mantan Direktur BI akibat kebijakan dimaksud. Kasus korupsi Akbar Tanung dinyatakan lepas dari segala tuntutan hukum melalui putusan MA No.572 K/Pid/2003 ter-tgl 4 Februari 2004 yang menyatakan, kebijakan program pengadaan dan penyaluran sembako yang dilakukan suatu tindakan yang harus oleh seorang koordinator/Mensesneg dalam keadaan darurat sesuai kewenangan diskresioner.
Putusan MA ini menegaskan, kebijakan tak dapat dinilai dalam kompetensi hukum pidana. Kebijakan Dewan Gubernur BI sebagai ranah hukum administrasi negara mengacu pada Pasal 45 UU 23/1999 sepanjang dilakukan dengan itikad baik. Namun, jika kebijakan itu ditetapkan sebagai perbuatan pidana korupsi, KPK harus secara cermat membuktikan adanya niat jahat (mens rea) atas pelaksanaan actus reus (perbuatan yang mengandung tindak pidana) yakni penyalahgunaan wewenang dan perbuatan melawan hukum. Rasionalitasnya, KPK harus semisal menggunakan kaca mata kuda di atas penyidikan sebagai langkah penegakan hukum, bukan pelunasan hutang politik. ***