Pengamat Politik; Sebaiknya Gibran Mundur
JAKARTA, (tubasmedia.com) – Kontroversi politik yang saat ini sedang dihadapi oleh bangsa Indonesia adalah perdebatan tentang pemakzulan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka yang dimulai dari pernyataan para purniwaran TNI agar MPR melakukan proses pemakzulan kepada anak sulung mantan Presiden Jokowi itu.
Gibran dianggap cacat konstitusi sehingga tidak layak untuk tetap menduduki jabatan yang sangat penting dan terhormat itu.
Pengamat politik dari Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah Muhammad Natsir Jakarta Ahmad Murjoko menyatakan hal itu, Senin, 28 April 2025 untuk menyikapi desakan para purnawirawan TNI. Menurutnya, pernyataan itu layak untuk disikapi dalam situasi kondisi yang tidak menentu seperti yang kita hadapi saat ini.
“Berdasarkan disiplin ilmu dan pengalaman, saya sangat sependapat atas sikap para purnawirawan yang dikeluarkan pada 17 April itu. Saya melihat adanya cacat proses walau sudah menjadi keputusan secara konstitusional. Sehingga banyak yang mengatakan bahwa dia adalah anak haram konstitusi,” kata Wakil Ketua Umum Partai Masyumi yang juga meraih magister antropologi politik dari FISIP UI tersebut.
Pernyataan para purnawirawan TNI itu memang menyentak dan mengagetkan. Tidak tanggung-tanggung, desakan itu datang dari Forum Purnawirawan Prajurit TNI, yang terdiri dari tokoh-tokoh senior militer. Ada Jenderal TNI (Purn) Fachrul Razi (mantan Wakil Panglima TNI), Jenderal TNI (Purn) Tyasno Soedarto (mantan KSAD), Laksamana TNI (Purn) Slamet Soebijanto (mantan KSAL), dan Marsekal TNI (Purn) Hanafie Asnan (Mantan KSAU). Pernyataan itu disetujui dan diketahui oleh Mantan Wapres RI Jend. (Purn) Try Sutrisno yang juga Mantan Panglima ABRI (1988-1993).
Wakil Presiden ke-6 RI Jenderal TNI (Purn) Try Sutrisno itu bahkan disebut sebagai salah satu tokoh sentral yang turut memberi restu terhadap wacana pergantian Gibran. Ia bahkan dikabarkan telah menyusun catatan khusus hingga surat wasiat politik yang ditujukan langsung kepada Presiden Prabowo Subianto, walaupun publik tidak mengetahui apa isi wasiat itu.
Pernyataan Sikap tegas itu ditandatangani oleh 103 purnawirawan jenderal, 73 laksamana, 65 marsekal, dan 91 kolonel dari seluruh matra TNI.
Pada intinya mereka menyatakan bahwan Gibran Rakabuming Raka pada dasarnya merupakan simbol kelanjutan dinasti politik Jokowi yang dinilai tidak sejalan dengan semangat reformasi dan meritokrasi dalam sistem ketatanegaraan.
Sangat Dimungkinkan
Desakan ini bukan hanya datang dari segelintir suara, tetapi dari gerakan besar yang disebut-sebut telah mengumpulkan lebih dari 300 purnawirawan TNI dari lintas matra, yang menuntut pemakzulan Gibran secara resmi oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Berdasarkan konstitusi pemakzulan memang dimungkinkan walaupun harus menempuh beberapa prosedur. Para purnawirawan sadar prosedur itu dan akan mengikutinya.
Mantan Kepala BIN Hendropriyono menyatakan, sikap para purnawirawan iu masih dalam batas-batas kewajaran dan terukur. Sementara mantan Kepala BIN lain Sutiyoso mendukung gerakan para purnawirawan itu. Ini bisa menunjukkan ke mana arah perkembangan akan bergulir dalam masalah pemakzulan Gibran itu.
Semua orang tahu proses terpilihnya Gibran sebagai Calon Wapres jauh dari kelurusan dan kepantasan. Dimulai dengan kasak-kusuk Ketua MK Anwar Usman yang adalah paman kandungnya sendiri.
Dia mengubah ketentuan pasal 169 UU no 7 tahun 2017 yang menyebutkan usia minimum Calon Presiden, yaitu 40 tahun. MK mengubah ketentuan itu lewat Kep MK no 90 bahwa usia menjadi 36 tahun dan sudah pernah menjadi Kepala Daerah. Ini jelas merupakan karpet merah untuk Gibran seorang sebab hanya dia yang memenuhi syarat seperti itu.
Melanggar Etika
Karena itu Majelis Kehormatan MK (MKMK) yang dibentuk kemudian menyatakan tindakan Anwar Usman itu salah dan melanggar etika. Dia dipecat dari jabatan sebagai Ketua MK dan tidak boleh terlibat dalam menangani proses perselisihan suara Pilpres dan Pilkada. Sampai saat ini, Anwar tetap menjadi Ketua MK walaupun dia sudah dinyatakan cacat moral.
“Berdasarkan apa yang kita ketahui tentang proses majunya Gibran menjadi Cawapres, kita memaklumi alasan pada purnawirawan itu mendesak pemakzulan Gibran. Saya sendiri setuju dengan usaha dan upaya itu, tetapi mekanismenya tetap harus konstitusional. Artinya mekanismenya lewat Parlemen, melibatkan DPR dan MPR, bukan lewat kegiatan ekstraparlementer,” kata Alumni FISIP Universitas Negeri Bengkulu itu.
Dia lebih lanjut mengusulkan agar tidak menimbulkan heboh dan gonjang-ganjing politik, akan lebih baik jika pihak Gibran melakukan kompromi dan mengundurkan diri saja.
“Tidak terlalu besar resiko jika diadakan jalan kompromi dari pada melakukan perlawanan frontal,” demikian Ahmad Murjoko. (sabar).