Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah Vs P3DN

Loading

Oleh: Fauzi Aziz

Fauzi Aziz

Fauzi Aziz

DALAM konsep ekonomi, pengeluaran belanja pemerintah yang tercermin dalam APBN adalah salah satu yang berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi nasional. Hal ini selaras dengan fungsi APBN yang dalam kerangka pelaksanaan kebijakan fiskal berperan sebagai penyelenggaraan fungsi alokasi, distribusi stabilisasi, dan pertumbuhan ekonomi.

Pada 2012, berdasarkan penggunaannya, pertumbuhan ekonomi sebesar 6,23%, pengeluaran konsumsi pemerintah hanya menyumbang dengan pertumbuhan 1,25%. Sementara itu, dari nilai PDB nominal berdasarkan harga yang berlaku pada 2012, yang mencapai Rp 8.241,9 triliun, komponen pengeluaran konsumsi pemerintah hanya berkontribusi sebesar 8,89% atau sekitar Rp 732,7 triliun.

Sebagian dari komponen pengeluaran konsumsi pemerintah itu, terkait dengan pengadaan barang dan jasa pemerintah yang diatur dalam Perpres Nomor 54 Tahun 2010 dan disempurnakan dalam Perpres 70/2012. Perpres ini adalah landasan hukum bagi Kementerian/Lembaga (K/L) dalam proses pengadaan barang dan jasa.

Misi pemerintah untuk menyukseskan progam P3DN sebagian tersurat dan tersirat dalam aturan tersebut, yang sebelumnya disemangati oleh keluarnya Inpres Nomor 2 Tahun 2009. Dengan demikian, P3DN dalam kaitan pelaksanaan pengadaan barang dan jasa pemerintah telah memiliki landasan hukum yang cukup. Namun, dalam implementasinya banyak hal yang harus diberikan catatan, antara lain, pertama, Perpres 54/2010, jo Perpres 70/2012 adalah regulasi yang sangat prosedural dalam kaitan pengadaan barang dan jasa pemerintah.

Kedua, pengadaan barang dan jasa yang sangat ketat itu bila dikaitkan langsung dengan P3DN, terjadi trade off, yang dalam praktiknya hanya mengundang hadirnya para pemasok non industri, yaitu “para pedagang” pemegang SIUP. Padahal, P3DN dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah dikandung maksud agar memiliki dampak langsung terhadap peningkatan produksi industri nasional, tapi nyatanya belum sepenuhnya efektif.

Ketiga, meskipun faktor TKDN dipersyaratkan, P3DN yang dikaitkan dengan pengadaan pemerintah hampir tidak memberikan insentif bagi perusahaan industri, karena para pemasok non-industri lebih mempunyai ruang untuk mendapatkan keuntungan lebih dengan mencari barang di pasar, ketimbang langsung berhubungan dengan industri, yang perhitungan cost dan benefit-nya sudah serba terukur dan hampir tidak bisa “direkayasa”.

Keempat, jika pemerintah tetap akan mengaitkan langsung progam pengadaan barang dan jasa dengan progam P3DN, maka sikap afirmatifnya sebaiknya ditegaskan langsung dalam regulasi. Misalnya, bagi produk yang TKDN-nya >25 persen, barangnya wajib dibeli dan pengadaannya bisa dilakukan langsung ke pabrik pembuatnya dan atau melalui distributor di seluruh Indonesia. Seperti yang berlaku dalam pengadaan kendaraan roda 4 dan roda 2.

Sistem ini akan memberikan insentif langsung bagi industri sebagai bentuk “kompensasi” atas kinerja industri berdasarkan capaian TKDN-nya, dibandingkan dengan pola pemberian preferensi harga. Selain itu, berguna untuk mencegah terjadinya mark-up harga, di samping para pengguna barang lebih bisa dijamin dari aspek kualitas dan spesifikasi teknis, serta pelayanan purna jual.

Dikaitkan Langsung

Dalam kaitan semua itu, maka melalui opini ini dapat disampaikan beberapa masukan kepada pemerintah untuk melakukan langkah-langkah sebagai berikut. Pertama, kebijakan P3DN yang dikaitkan langsung dengan pelaksanaan progam pengadaan barang dan jasa pemerintah aspek afirmatifnya sebaiknya ditegaskan langsung dalam regulasinya.

Kedua, penegasan itu berkaitan langsung bahwa terhadap barang yang TKDN-nya telah mencapai >25% wajib dibeli langsung dari pabrikannya dan atau melalui distributor yang ditunjuk.

Ketiga, pembelian langsung itu untuk sementara diberlakukan terhadap: a) pengadaan alutsista, beserta produk komponen utama/penunjang,komponen/pendukung (perbekalan) sesuai dengan semangat UU Nomor 16 Tahun 2012 tentang Industri pertahanan. b) Pengadaan barang modal untuk keperluan industri migas. c) Pengadaan barang di sektor telekomunikasi. d) Pengadaan barang di sektor pendidikan dan sektor kesehatan. e) Pengadaan barang untuk pembangunan infrastruktur pada umumnya.

Keempat, jika hal ini dapat disepakati, maka disarankan agar Inpres Nomor 2 Tahun 2009, begitu pula Perpres Nomor 54/2010 dan Nomor 70/2012 perlu disempurnakan untuk mengakomodasi substansi yang dijelaskan sebelumnya. Langkah-langkah ini tidak akan menimbulkan distorsi pasar, namun dampaknya terhadap peningkatan kapasitas nasional terpasang di sektor industri dan investasi dapat langsung bisa dirasakan.

Sistem ini, juga tidak akan menimbulkan komplikasi terhadap kebijakan pemerintah di bidang impor, karena tidak ada aturan impor yang diubah dan bahkan dilanggar. Dalam kerangka yang lebih makro, meskipun komponen pengeluaran konsumsi pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi tidak terlalu besar, namun jika sistem tersebut berhasil dilaksanakan dengan baik akan berdampak terhadap peningkatan pertumbuhan pembentukan modal tetap bruto atau investasi langsung yang pada 2012 mencapai 9,81%. Semoga bermanfaat. ***

CATEGORIES
TAGS

COMMENTS