Penertiban Bajaj, Kenapa Baru Sekarang?
Oleh: Anthon P. Sinaga

Ilustrasi
SETELAH sopir angkot diobok-obok dengan keharusan memakai baju seragam dan pembuatan kartu identitas yang harus ditempel di atas dashbor, kini sopir bajaj mendapat giliran diperiksa surat-surat izin mengemudi dan kelengkapan operasional kendaraannya. Ini semua ulah aparat Dinas Perhubungan terhadap “orang kecil” yang seharusnya tidak perlu tindakan mendadak.
Bajaj sebagai angkutan jenis ke-4 di DKI Jakarta, semula akan dihapuskan secara perlahan-lahan, sebagaimana penghapusan angkutan becak. Namun karena tiga jenis angkutan umum lainnya (bus besar, bus sedang dan angkutan mikrolet) menurut pola angkutan umum di DKI Jakarta belum bisa berfungsi dengan baik, maka angkutan jenis ke-4 ini masih dibutuhkan.
Ternyata, yang bisa bertahan hingga saat ini hanyalah bajaj dari moda lainnya seperti minicar, helicak, dll. Kendaraan bermesin 2 tak buatan India ini, memang terkenal kuat dan bandel. Namun, suaranya bising dan terkesan ugal-ugalan.
Tujuan mulia pengadaan angkutan jenis ke-4 ini, sebenarnya adalah untuk menampung bekas penarik becak untuk memiliki penghasilan dan kendaraan sendiri dengan cara mencicil.
Mereka pun dilatih secara gratis atas tanggunan Pemprov DKI untuk memperoleh surat izin mengemudi (SIM) A Umum, sebagai persyaratan mengemudi angkutan bermotor. Menarik becak dengan menggenjot pedal dengan kekuatan kaki, waktu itu ditengarai tidak manusiawi lagi. Bekas juragan becak juga dianjurkan untuk beralih kepada angkutan umum bermotor.
Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta, Udar Pristono mengatakan baru-baru ini, jumlah izin operasioal bajaj yang pernah dikeluarkan, hanyalah sebanyak 14.424 izin. Setelah itu tidak ada izin baru yang dikeluarkan, kecuali izin peremajaan.
Dari jumlah itu, sudah ada izin peremajaan sebanyak 2.755 unit yang sekaligus diubah dari bajaj bermesin 2 tak, menjadi 4 tak dengan menggunakan bahan bakar gas (BBG). Suara mesinnya memang lebih halus dan penggunaan BBG juga irit.
Tetapi kenyataan di lapangan, jumlah bajaj hampir dua kali lipat dari izin yang dikeluarkan. Banyak pemilik bajaj mengkloning (menggandakan) surat izin, sehingga satu surat izin bisa dipakai untuk dua atau tiga unit bajaj. Sehingga jumlah bajaj yang berkeliaran, sangat banyak.
Peremajaan bajaj dari 2 tak menjadi 4 tak juga mengalami kendala, karena harga bajaj BBG yang baru bisa mencapai Rp50 juta, disebabkan bea masuk impor dari India cukup tinggi.
Menurut Pristono, bajaj berbahan bakar gas dikategorikan barang mewah, sehingga bea masuk tinggi. Namun, setelah Pemprov DKI Jakarta mengirim surat ke Kementerian Keuangan, Ditjen Pajak telah menurunkan bea masuk bajaj dari 45 persen menjadi 25 persen. Itupun masih dianggap mahal, dibanding bea masuk untuk bus transjakarta hanya 5 persen. Sehingga, pemilik bajaj hanya merenovasi kendaraan lama.
Tidak Konsisten
Sebenarnya, kesemrawutan lalu lintas di Jakarta, lebih bayak disebabkan aparat Pemrov DKI tidak konsisten melaksanakan pengawasan terhadap aturan yang ditetapkan. Tugas pembinaan terhadap pemilik angkutan umum maupun awaknya, tidak pernah dilakukan. Kloning surat izin operasional bajaj tidak akan berlanjut, kalau aparat Dinas Perhubungan melakukan pengawasan dan pemeriksaan secara berkala di lapangan.
Demikian juga soal pakaian seragam dan kartu identitas bagi sopir angkot, sejak awal sudah ada peraturan yang harus dipatuhi. Namun, tidak dilakukan pengawasan dan pemeriksaan.
Banyaknya bajaj bodong yang tidak mematuhi uji kir, STNK maupun surat izin usaha, berkeliaran di jalan raya, adalah juga disebabkan kesalahan aparat perhubungan, termasuk polisi lalu lintas yang melakukan pembiaran. Jalan dibiarkan dipenuhi oleh kendaran liar dan tidak mematuhi keselamatan penumpang.
Dalam razia baru-baru ini, banyak juga sopir bajaj tidak mempunyai SIM, padahal sesuai UU No.22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, sopir bajaj harus dilengkapi dengan SIM A Umum. Sehingga pantaslah mereka mengemudi ugal-ugalan, dan tidak mengerti keselamatan berlalu lintas.
Sesungguhnya, adalah menjadi tugas fungsional aparat perhubungan dan polisi lalu lintas untuk membina pengusaha dan awak angkutan umum, khususnya ”orang-orang kecil” ini untuk mencari nafkah dengan baik dan benar. Apabila semua angkutan umum tertib dan mematuhi aturan-aturan yang berlaku, maka tidak akan terjadi kesemrawutan lalu lintas, dan keamanan serta keselamatan penumpang pun bisa terjamin.***