Optimalisasi Pemanfaatan Sumber Daya Nasional
Oleh: Fauzi Aziz

Fauzi Aziz
MEMBACA media terbitan Senen, 21 Januari 2013, nasionalisme ekonomi sepertinya kembali “digugat”. Ada yang menyatakan pembangunan tanpa idiologi, sementara bung Hariman Siregar dalam pidato peringatan Malari di TIM Jakarta (15 Januari 2013) juga menyatakan bahwa keadaan Indonesia tidak berubah, modal asing masuk deras dan keuntungan kembali ke mereka.
Inilah bentuk keprihatinan sebagian anak bangsa atas kondisi perekonomian di negeri ini. Soal yang satu ini, kita bisa perdebatkan, tetapi apapun alasannya, pembangunan di negeri ini harus terus berjalan. Dan agar gugatan tadi tidak terus berulang, maka harus ada jawabannya.
Secara idiologis harus ada kemufakatan secara politis, bukan hanya berupa kepingan-kepingan dari pendapat yang muncul dalam ruang hampa. Secara idiologis harus dilandingkan, apa sebenarnya yang harus dimufakatkan tentang kehendak “politis” bangsa ini untuk membangun perekonomiannya ke depan.
Kemufakatan ini penting, tapi forum apa yang bisa mewadahinya tidak ada, karena fungsi MPR dalam membuat GBHN sudah ditiadakan. Idiologi ekonomi yang tadinya menjadi kehendak rakyat melalui MPR, bergeser menjadi semacam hak prerogratifnya pemerintah melalui sistem perencanaan nasional, meskipun dipandu oleh UU tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang.
Isu kemandirian memang dibahas dalam UU tersebut. Isu tentang membangun ekonomi domestik yang kuat dan berdaya saing, juga dijelaskan. Namun faktanya, pada ranah kebijakan ekonomi yang dibuat pemerintah, tidak sepenuhnya sesuai dengan semangat itu.
Beberapa yang menonjol antara lain adalah kebijakan di bidang penanaman modal. Indonesia memang memberikan ruang yang luas melalui FDI untuk berinvestasi di sektor industri manufaktur dan sektor lain dengan pertimbangan, mereka punya modal, teknologi dan menguasai jaringan pasar.
Fasilitas dan kemudahan yang diberikan membuat Indonesia menjadi semakin bergantung kepada luar negeri. Impor barang modal, bahan baku/penolong serta komponen dan suku cadang, diberi fasilitas pembebasan bea masuk dan PPN. Begitu pula ketika produknya diekspor mereka mendapatkan lagi fasilitas dan kemudahan yang sama.
Namun jika kegiatan investasi dan ekspor menggunakan bahan baku dan barang modal lokal, fasilitas dan kemudahan tersebut hampir tidak ada sama sekali. Contoh ini yang secara mudah difahami oleh publik bahwa ekonomi Indonesia menjadi bergantung pada luar negeri. Dan inilah yang kemudian “digugat” oleh banyak kalangan. Oleh sebab itu, harus ada mekanisme politik yang harus bisa memformulasikan kembali tentang apa yang seharusnya dilakukan oleh bangsa ini guna lebih menegaskan bahwa ketergantungan itu tidak menimbulkan kerawanan struktural dalam sistem ekonomi nasional dan sistem sosial.
Konsepnya tidak berarti menerapkan kebijakan anti pasar, tetapi tetap bersifat pro-pasar. Kebijakannya tetap pro-pasar, tetapi negara tetap memiliki otoritas secara berdaulat untuk memberikan kesempatan agar kegiatan investasi dan ekspor yang mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya nasional, layak diberikan insentif/dis-insenif agar nilai tambahnya berkapitalisasi di dalam negeri.
Repatriasi keuntungan harus diperketat dan kalau diinvestasikan kembali, pemerintah dapat memberikan fasilitas dan kemudahan. Penempatan Devisa Hasil Ekspor (DHI) adalah contoh kebijakan yang baik, tetap pro-pasar, tapi sekaligus ada unsur pengendalian dan pengawasan. Kebijakan hilirisasi dengan menerapkan bea keluar atas ekspor produk primer harus dipertahankan dan bahkan diperluas, serta konsisten dijalankan.
Kebijakan tarif impor secara menyeluruh harus dikaji ulang yang arahnya bukan dalam rangka menerapkan kembali rezim restriksi impor, tetapi lebih dimaksudkan agar terjadi rasionalisasi dan harmonisasi struktur tarif impor. Progam inti plasma harus berjalan berdasarkan semangat shareholders cooperation secara proporsional, bukan dibangun berdasarkan semangat bisnis murni.
Kerjasama investasi harus berjalan dengan semangat joint venture antara PMA dan pengusaha lokal. PMA 100% hanya berlaku untuk sektor-sektor tertentu dan setelah jangka waktu tertentu harus didivestasi kepada perusahaan nasional. Pemerintah wajib memfasilitasi komersialisasi hasil riset yang dilakukan oleh lembaga riset pemerintah, perguruan tinggi maupun swasta.
Inilah tantangan yang harus dijawab oleh pemerintah mendatang. Platform kebijakan ekonominya harus berbasis pada optimalisasi pemanfaatan sumber daya nasional tanpa harus menafikkan hadirnya modal asing dan menutup kran impor. Semua itu dilakukan dalam rangka menerapkan manajemen pembangunan ekonomi yang lebih fair, adil, transparan dan akuntable untuk mewujudkan kemandirian ekonomi dalam negara yang berdaulat.
Dan upaya ini kita harapkan menjadi kebijakan politik ekonomi negara, bukan hanya menyerahkannya sebagai kebijakan pemerintah semata. Konsekwensinya harus dituangkan dalam UU tersendiri sesuai amanat pasal 33 dan 34 UUD 1945. ***