Oleh: Fauzi Aziz

Ilustrasi
BOLEH jadi judul ini akan menjadi realitas dalam 17 tahun yang akan datang, tepatnya pada tahun 2030 saat Indonesia diproyeksikan menjadi negara ke 7 dalam bidang ekonomi. Artinya menjadi digdaya di bidang ekonomi dengan pertumbuhan PDB tinggi, tapi komposisi penghela utamanya akan terjadi seperti dalam beberapa tahun terakhir.
Pengeluaran belanja konsumsi masih dominan (50% lebih); pengeluaran belanja pemerintah (sekitar 9%); belanja investasi pisik/PMTB (sekitar 30%); ekspor (sekitar 25%) dan impor (sekitar 25%). Dari fakta ini sudah bisa memberikan gambaran bahwa Indonesia paling tidak 17 tahun mendatang ekonominya memang dapat tumbuh mengesankan (nilai PDB-nya makin besar), namun boleh jadi komposisinya akan relatif tetap seperti fakta yang ada.
Dan oleh karena itu, opini ini berpendapat bahwa negeri ini berpotensi menjadi bangsa konsumen terbesar ke 7 di dunia. Pengeluaran belanja investasi pisik/PMTB akan juga ikut membesar kuenya tapi tidak akan mampu melebihi atau menggeser dari total nilai PDB pengeluaran belanja konsumsi rumah tangga.
Inipun harus disertai syarat, pemerintah harus kerja keras berbenah dan cakar-cakaran antara elit politik tidak terjadi lagi. Membangun infrastruktur secara masif adalah sebuah keniscayaan, membenahi regulasi yang karut marut juga sebuah keniscayaan, di samping faktor pelayanan publik yang harus dibenahi agar efisien, dalam kurun 17 tahun dari sekarang.
Kira-kira hanya 3 kali periode kabinet. Semoga saja mimpi-mimpi bangsa dan negara ini bisa dicapai. Namun bila diruntut ke belakang, skenario untuk menjadikan Indonesia menjadi bangsa konsumen terbesar di dunia, sudah terjadi sejak tahun 1999, pasca krisis ekonomi. Saat itu, liberalisasi pasar dimulai dan satu dasa warsa lebih berjalan tanpa kita berusaha untuk melakukan revisi.
Bahkan masih diyakini oleh para pengambil kebijakan ekonomi bahwa “tunduk” pada hukum pasar jauh lebih baik daripada adanya campur tangan pemerintah. Nyatanya mekanisme pasar tidak memberikan jawaban bagi Indonesia membangun efisiensi ekonominya karena berbagai bentuk distorsi terjadi dimana-mana.
Contoh konkretnya, sampai saat ini kita masih terus berkeluh-kesah tentang high cost economy. Problem lain adalah meskipun jumlah kelas menengah bangsa ini makin besar, namun nasionalisme konsumennya rapuh. Gaya hidup mereka sangat konsumtif dan impor minded. Global mindset-nya sudah begitu merasuk dalam pikirannya dan mengubahnya sangat tidak mudah.
Negara barat rasanya tidak mau kecolongan kalau di waktu mendatang ada negara baru seperti China yang digdaya ekonominya menggeser hegemoni barat (Amerika Serikat dan Eropa),meskipun saat ini masih merangkak untuk keluar dari krisis.
Indonesia bukan seperti Jepang atau Korea,yang nasionalisme konsumennya sangat tinggi. Semangat Bushido Jepang yang membentuk karakter seperti itu dan kita tidak berhasil. Oleh sebab itu, segeralah menyatukan pendapat dan sekaligus merapatkan barisan menata kembali sistem ekonomi nasional agar bangsa ini dapat mengambil manfaat yang maksimal dalam globalisasi. ***