Jika Konsumen Sedang Malas Berbelanja…
Oleh: Fauzi Aziz
BERBELANJA adalah “pengorbanan” yang dilakukan secara sadar oleh konsumen sedunia. Yang dibelanjakan sebagian dari pendapatan yang diperoleh konsumen dimanapun mereka berada. Konsumen yang gila belanja, menurut catatan yang pernah dipublikasikan sekitar1,2 miliar orang ada di Asia, atau sekitar 43% penduduk dunia.
Nilai belanja yang diperkirakan terjadi tahun 2030 mencapai US$ 32 triliun dan mereka adalah golongan kelas menengah. Kata kunci sebagai pembelanja yang efektif adalah bila masyarakat memiliki pekerjaan di berbagai bidang yang berarti secara otomatis mereka punya pendapatan dan daya beli.
Negara juga dapat diklasifikasikan sebagai konsumen, ketika membelanjakan APBN/APBD-nya. Karena itu pengeluar an konsumsi masyarakat dan pemerintah menjadi salah satu penyumbang PDB ekonomi nasional.
Konsumsi masyarakat menyumbang rata-rata 50% lebih dan belanja konsumsi pemerintah berkontribusi sekitar 9% terhadap PDB. Asia di abad ini menjadi kawasan produksi dan distribusi yang paling menarik di dunia.
Satu setengah miliar kelas menengah Asia adalah pendatang baru yang secara potensial menjadi motor perubahan dan pertumbuhan baru Asia. Oleh sebab itu, tanggungjawab pemerintah dan dunia usaha menjadi semakin berat bila menghadapi keadaan dimana konsumen sedang lesu dan malas berbelanja.
Indeks konsumsi yang menurun pasti akan mempengaruhi indeks manufaktur. Jika indeksnya berada pada angka di atas 50, kondisi ini memberikan gambaran bahwa konsumen sedang tidak malas berbelanja.
Tetapi bila indeksnya berada di bawah angka 50, kondisi ini mencerminkan konsumen sedang malas berbelanja. Kita kenal paling tidak ada 3 klasifika si kebutuhan konsumen yang menjadi obyek belanja yakni barang kebutuhan primer berupa sandang, pangan dan papan, pendidikan dan kesehatan.
Kebutuhan skunder berupa kebutuhan kelengkapan seperti AC,TV dan alat perlengkapan rumah tangga. Dan kebutuhan yg bersifat tersier, misalnya berinvestasi, asuransi, wisata, hiburan dan sebagainya. Semua negara di dunia menghendaki pertumbuhan ekonomi membaik yang tujuannya agar siklus ekonomi atau siklus bisnis berjalan normal.
Semua menaruh harapan agar konsumsi, inves tasi, belanja pemerintah, serta kegiatan ekspor impor dapat berjalan tanpa ada hambatan dan gangguan yang berarti.
Tapi apa boleh dikata, ketika faktor konsumsi mengalami kelesuan yang cenderung “sistemik”, kegiatan ekonomi akan terpengaruh. Investasi turun dan banyak investor mengambil sikap wait and see, belanja pemerintah banyak dikorupsi, serta akhirnya kegiatan ekspor impor akan terpengaruh.
Tiongkok menjadi salah satu negara di dunia yang terkena pukulan berat karena turunnya permintaan dunia secara agregat atas produk manufaktur sehingga ekonomi Tiongkok diperkirakan hanya akan tumbuh pada kisaran 6-7%.
Ini sebuah fakta bahwa ketika konsumsi dunia melemah, dampaknya langsung mempengaruhi pertumbuhan ekonomi dunia secara merata karena sistem ekonomi internasional sudah cenderung terkoneksi dalam sistem global production network.
Ekonomi dunia sekarang malas tumbuh. Karena itu IMF membuat prediksi pertumban ekonomi dunia rata-ra ta berada pada kisaran 2,4%. Tiongkok sekitar 6%, India 7% dan Asean diharapkan bisa tumbuh rata-rata sekitar 5,5%.
Ekonomi Indonesia tahun 2016 diharapkan tumbuh mencapai antara 4,9- 5% dan tahun 2017 diperkirakan mencapai 5,2-5,4%. Dalam hal Indonesia, sumbangan konsumsi terhadap PDB akan tetap tinggi dan angkanya akan berada pada kisaran 50% lebih dari PDB ekonomi.
Semua pihak berharap agar belanja konsumsi masyarakat tidak mengalami penurunan karena faktanya mereka mampu menjadi dewa penyelamat pertumbuhan ekonomi nasional.
Pengeluaran konsumsi yang menurun sekarang ditakuti para pengambil kebijakan ekonomi pemerintah dan dunia usaha. Kita sudah bisa membayangkan bagaimana jika sumbangan pengeluaran belanja konsumsi masyarakat terhadap PDB jeblok dan angkanya hanya berada pada kisaran 45-50%.
Ekonomi Indonesia pasti akan tumbuh jauh di bawah 5%. Jadi hal yang harus dilakukan bersama antara pemerintah dan dunia usaha adalah merangsang konsumen agar lebih giat membelanjakan sebagian pendapatannya.
Indonesia kini mempunyai sekitar 130 juta golongan menengah. Ini menjadi potensi pembelanja yang harus digarap dengan baik oleh pemerintah dan dunia usaha agar tidak membelanjakan pendapatannya membeli barang impor.
P3DN harus ditangani dengan konsep dan sistem yang lebih baik. Penyelundupan juga harus ditangani secara sistemik, jangan lagi ditangani seperti pemadam kebakaran. Jika tidak ada upaya serius mendorong peningkatan konsumsi rumah tangga, kondisi perekonomian di dalam negeri akan semakin tertekan. Pemerintah harus memperhatikan sisi supply dan demand dalam setiap membuat kebijakan stimulus ekonomi.
Kebijakan-kebijakan ekonomi nasional dan daerah harus bersandar pada pemahaman yang mendalam tentang perilaku nyata para produsen, distributor dan konsumen di pasar. Kebijakan ekonomi harus berhasil untuk mengenal persepsi, preferensi dan dinamika perilaku dari pelaku- pelaku pasar yang sesungguhnya mereka itu yang akan merespon suatu kebijakan ekonomi.
Bagi Indonesia, ekonomi berbasis konsumsi tetap penting dan berbasis produksi juga menjadi keniscayaan karena kita memerlukan pembentukan struktur ekonomi yang lebih seimbang antara sektor produksi dan sektor jasa, serta selarasnya antara kepentingan produsen dan konsumen.(penulis adalah pemerhati ma salah sosial ekonomi dan industri).