Masih Ada Hakim yang Nekad “Bermain Api”
Oleh: Marto Tobing
CUKUP banyak hakim harus mendekam di penjara karena kerakusan materi. Teori kemungkinan bisa kandas karena hukuman ringan mengakibatkan tidak berdampak timbulkan efek jera. Maka kepantasan sebutan “Yang Mulia” sebagai wujud ungkapan rasa hormat terhadap hakim pun berubah ‘bak irama musik bernada fals, tak sedap didengar malah jadi berisik.
Tak heran amuk massa di sejumlah pengadilan pun menjadi tontotan keseharian. Hakim menggedorkan palu keadilannya, namun keseimbangan timbangan tetap miring. Bahkan, baru-baru ini dengan beringasnya massa melemparkan puluhan ekor ular cobra ke ruangan sidang PN Sumenep, tentu saja itu sebagai ungkapan amarah kepada “Yang Mulia” bernada false.
Apakah radikalisasi massa itu akan dijadikan sebagai cemeti oleh para hakim demi kepantasan norma sehingga patut dipredikatkan sebagai “Yang Mulia” bernuansa nada mayor..? Nanti dulu..!
Beringas anarkis yang terjadi di seantero pengadilan negeri semua hakim sudah tahu. Bahkan para hakim yang dijebloskan ke penjara akibat “bermain api” betul telah menggetarkan detak jantung hakim lainnya, namun sayangnya hanya sesaat. Begitu detak jantung mulai normal, kelakuan buruk pun kembali bangun, lagi-lagi “bermain api”.
Hakim senior Sarifuddin tahu betul, sudah banyak teman sejawatnya sesama hakim pindah ke hotel prodeo jalani hukuman. Namun bagi hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat ini, itu sama sekali nggak ngaruh. Serakah kerakusan materi rupanya masih merasuk sehingga nekad terima suap sebagaimana didakwakan jaksa. Mengenaskan memang. Sarifuddin tak pernah bermimpi bakal hidup dalam bui namun harus menikmati usia menuanya di penjara menyusul tuntutan jaksa hukuman selama 20 tahun.
Pertanyaannya, apakah ancaman hukuman seberat itu mampu menciutkan nyali untuk tidak mengikuti jejak para hakim pecundang ? Ketua Majelis Hakim, Poltak Sitorus SH seakan menjawab “tidak juga”.
Saat menyidangkan kasus penggelapan terdakwa Kim Ho Yeon (KHY) di PN Jakut ditengarai masih berani “bermain api”. Poltak dinilai bersikap tidak fair dan tidak netral memposisikan dirinya sebagai hakim. Saat Poltak mengajukan pertanyaan, terdakwa WN Korea Selatan ini malah “ditutun” ke arah melawan dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Trimo SH.
Kapasitas kualitas pertanyaan yang seharusnya kewajiban terdakwa untuk menjelaskan, malah digiring ke arah saksi korban Yoo Ginam.
Pengacara Jawalmen Girsang SH selaku Penasihat Hukum PT. Agro Enerpia (AEI) menyoroti keberpihakan ketua majelis hakim ini terhadap KHY. “ Ketua majelis hakim itu nyata-nyata memihak terdakwa,” tandas Jawalmen menanggapi Tubas seusai sidang, Selasa lalu.
KHY dipersilahkan melengkapi pertanggungjawaban keuangan PT. AEI. “Dikengkapilah dengan rekapitulasi dan kwitansi. Bila perlu dijilid baru dan serahkan ke majelis hakim,” ujar Poltak menggiring KHY.
Padahal dakwaan JPU hanya soal pertanggungjawaban KHY selaku Direktur Keuangan PT. AEI yang tidak dilakukan selama tiga bulan sesuai batas waktu yang ditetapkan UU No.40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. “Ironisnya, majelis hakim seolah menerima pertanggungjawaban yang hanya berupa catatan pribadi terdakwa,” ungkap Jawalmen mengkritisi jalan pikiran ketua majelis hakim itu.
Akibat ketiadaan pertanggungjawaban dari KHY itu pula akuntan publik tidak bisa audit keuangan PT. AEI. “Ketiadaan pertanggungjawaban keuangan dari terdakwa itu didukung oleh akta. Jadi tindakan majelis hakim ini jelas tidak etis, bahkan mengabaikan upaya pencarian keadilan yang dilakukan pihak korban,” jelas Jawalmen.
Kemudian, saksi Yoo Ginam dijadikan “bulan-bulanan” oleh berbagai pertanyaan yang memojokkan disemburkan Poltak, padahal saksi ini justru sebagai korban.
Menanggapi tudingan, Poltak berkelit dengan mengatakan, hal itu dilakukan demi memastikan apakah PT. AEI eksis atau tidak. Poltak justru mengkhawatirkan perusahaan itu diperalat mencuci uang. Padahal KHY hanya dipersalahkan JPU menggelapkan uang perusahaan miliaran rupiah.
Selain tudingan keberpihakan, tindakan majelis memperlambat-lambat sidang juga dipersoalkan. Kasus ini mulai sidang awal September 2011 namun sudah enam bulan berjalan sidang masih tahap pemeriksaan terdakwa. Penanganan kasus ini di PN Jakut mau pun yang sudah diputus di PN Jakpus ada indikasi peranan makelar kasus dan mafia hukum ikut “bermain api”.***