Lahir, Mencintai dan Meninggal
Oleh: Fauzi Azis

Fauzi Azis
HIDUP ini sederhana saja dan atas kuasa Allah, manusia sebagai salah satu mahluk ciptaannya dilahirkan ke dunia melalui proses yang panjang (9 bulan lamanya) berada dalam kandungan sang bunda yang melahirkannya.
Selama kurun waktu tersebut, boleh dibilang proses pendidikan bagi si jabang bayi telah dimulai. Secara naluriah proses tersebut akan bertransformasi pada kehidupan si bayi selama dalam kandungan. Fondasi kepribadian si bayi sudah di mulai saat itu.
Secara pisik dan pesyihis bangunan tubuhnya akan terbentuk atau dipengaruhi oleh sikap perilaku si ayah dan sang bunda selama keduanya mengasuh dan menyayanginya di saat dalam kandungan. Wajah bisa mirip ibundanya dan ayahandanya atau kombinasi diantara keduanya.
Senyumnya dan nakalnya bisa juga berpengaruh dalam kehidupannya. Dalam kurun waktu tersebut boleh dibilang juga telah mengalami masa-masa yang kritis juga karena pada dirinya mengandung unsur pembentukan karakter. Pada bulan kesembilan, atas kehendak Tuhan jualah sang orok lahir kedunia dengan suara tangis yang menceriakan karena dia terlahir dalam kedaan sehat walafiat, wajahnya mirip ayah bundanya dan sebuah pertanda bahwa kasih sayang kedua orang tuannya di saat dalam kandungan bobotnya sama.
Keceriaan dalam tangisan tersebut adalah juga menggambarkan atau pertanda ucapan syukur si bayi kepada sang pencipta bahwa dia atas kehendak-Nya dilahirkan di muka bumi yang keadaannya sangat hiruk-pikuk dan berbeda sama sekali tatkala dia dalam buaian bundanya di alam kandungan.
Sejak saat itu, dia langsung masuk dalam kawah candradimuka baru untuk memulai mengenyam pendidikan dalam kurun waktu yang lebih lama. Selama prosesnya semestinya tidak boleh ada yang salah karena sebagai orang tua tentu sangat mendambakan agar anaknya menjadi anak yang soleh dan solehah, berguna bagi dirinya, keluarganya, masyarakat, nusa dan bangsa.
Melalui panjatan doa siang malam oleh kedua orang tuanya, bahkan kalau di Jawa ada tradisi tirakat, semua itu dilakukan dengan tujuan agar anaknya benar-benar menjadi orang beriman, berilmu dan bisa mengamalkan ilmunya agar kelak orang lain juga bisa melakukan halnya yang sama. Iman, ilmu dan amalan itulah bekal hidupnya di dunia.
Saling menyayangi dan saling mengasihi dan semanagat untuk saling berbagi adalah sepirit yang akan dikelolanya disisa waktu hidupnya. Mencari rezeki yang halal itu menjadi obsesi dan citacita luhur hidupnya. Atas dasar kasih dan cinta, ketulusan dan keihlasannya berbagi rezeki yang diperolehnya kepada orang lain yang dicintainya, siapapun mereka tanpa memandang ras, etnis, agama dan asal-usulnya.
Mengapa berani melakukan hal yang demikian?. Tentu ada alasannya dan alasan tersebut sederhana saja, yaitu bahwa harta benda yang kita miliki tidak akan dibawa mati dan diyakini bahwa Tuhan pasti akan memperlancar rezeki bagi mahluk-Nya yang beriman kepada-Nya.
Orang-orang yang demikian tidak pernah membuat hitung-hitungan, apalagi sampai membayar akuntan untuk mengaudit apa yang dimilikinya. Semuanya seperti air mengalir saja, keluar masuk, keluar masuk begitu seterusnya. Tidak pernah berfikir debet kredit disepanjang masa hayatnya.
Tidak pernah pula membicarakan soal untung rugi, surplus/defisit di sepanjang hidupnya. Yang keluar tidak berapa lama masuk lagi. Situasi kehidupan yang seperti bukan sesuatu yang mustahil bisa terjadi. Atau anda berfikir kehidupan yang seperti itu hanya dialami oleh para nabi.
Rasanya tidak seperti itu cara berfikirnya karena semua manusia ciptaan-Nya diberikan kesempatan dan peluang yang sama untuk beriman, berilmu dan beramal. Yang lalai dan lebay menangkap peluang dan kesempatan yang diberikan oleh Tuhan, dia akan mejadi manusia yang merugi.
Punya uang banyak, emas, berlian, tanah di mana-mana kalau digunakan berdasarkan semangat cinta dan kasih sayang, kita akan bisa menikmati kedamaian dan ketenangan tanpa ada rasa takut secuil pun.
Menyayangi, mencintai sesama dalam keadaan suka dan duka dengan landasan semangat saling berbagi akan membuat suasana kehidupan menjadi sejuk, tenang dan damai. Si kaya dan si miskin akan saling menjaga dan saling melindungi tanpa ada rasa dengki dan iri apalagi saling mencelakakan satu sama lain.
Inilah hakekat kehidupan, lahir dan saling mencintai. Fase berikutnya adalah tahap kematian atau masa karena kita atas kuasa Tuhan tidak ada yang bisa menolaknya harus meninggalkan dunia yang fana ini. Tak ada satupun yang akan dibawanya kecuali beberapa lembar kain putih, tempatnya pun tidak lebih dua meter persegi.
Yang dibawanya hanyalah amal ibadahnya, ilmunya yang bermanfaat, kasih dan sayangnya yang mau berbagi kepada orang lain yang lebih membutuhkan. Itulah proses hidup dan kehidupan kita lahir, mencintai dan meninggal.
Pada akhirnya yang akan dipertanggung jawabkan kepada yang maha kuasa sejatinya hanya yang berupa sesuatu yang tidak berwujud (yang intangible), apa itu, iman, ilmu dan amal. Dan ini yang akan dihitung. Bagaimana dengan yang tangible (rumah, dolar, rupiah, tanah dan lain-lainl)?.
Ini penting tapi jangan ditetapkan menjadi tujuan karena fungsinya yang utama sejatinya dia hanya berfungsi sebagai sarana atau sekedar alat bantu di balik semua itu ada sebagian yang menjadi haknya orang lain (fakir miskin) dan itu hanya titipan yang sifatnya sementara. Yang abadi adalah yang intangible, nilainya tak terhingga.
Jadi ternyata diantara kita sebenarnya banyak yang keblinger, siang malam kita kejar sesuatu yang tangible sampai kadang-kadang lupa beribadah kepada Tuhan, padahal yang dicatat dan dibukukan dan diakui kemanfaatannya adalah yang bersifat intangible.
Mudah-mudahan kita semua tergolong manusia-manusia yang dilahirkan, tumbuh hingga dewasa dan tua yang bisa saling mencintai, menyayangi dan bisa berbagi untuk mendapatkan kemuliaan di sisi Tuhan dan kemanusiaan, untuk kemudian mati meninggalkan dunia yang fana dengan membawa bekal, iman, ilmu yang bermanfaat dan amal kebajikan.***