Kepentingan Nasional
Oleh: Fauzi Azis

Fauzi Azis
DI era globalisasi dewasa ini, dendang merdu nyanyian berjudul Kepentingan Nasional mengudara di mana-mana dan di berbagai panggung atraksional, seperti di panggung politik, panggung seminar diskusi dan sebagainya.
Judul lagunya sama, yaitu kepentingan nasional, tapi syair dan liriknya berbeda satu sama lain. Dalam bingkai NKRI kita anggap clear judul lagu tersebut, tapi manakala dendang lagu yang berjudul kepentingan nasional masuk ke ranah dunia yang mengglobal, maka bisa terjadi bias karena di dunia global judul lagu tersebut bisa berubah menjadi hanya satu suku kata, yaitu Kepentingan sementara kata Nasionalnya bisa luluh atau berantakan.
Dalam konteks politik dan ekonomi, sampai hari ini rasanya belum pernah kita temukan jawaban yang pasti apa sesungguhnya makna Kepentingan Nasional dalam dimensi yang lebih luas dilihat dari perspektif hukum, politik, ekonomi, sosial dan budaya.
Dengan perkataan lain, kalau dendang lagu yang berjudul Kepentingan Nasional tadi kita bawa ke ranah publik, katakan kita cantolkan ke dalam ranah Kebijakan Publik rasanya juga tidak kita temukan pengertian tentang kepentingan nasional tadi. Ada memang disebut dalam satu naskah kebijakan publik, misalnya dalam UU tentang penanaman modal bahwa penanaman modal asing di Indonesia harus memperhatikan kepentingan nasional. Kalimat ini sangat bersifat normatif. Kalau toch dibuat penjelasan, bisa diduga kontennya bisa bersifat subyektif atau bisa dibaca sangat tergantung pada kepentingannya.
Boleh jadi, kalau kita buka-buka lagi dalam naskah kebijakan publik yang lain, kalau di dalamnya kita ketemukan istilah kepentingan nasional, bisa saja pengertiannya berbeda lagi. Lagi-lagi patut diduga bahwa pengertiannya menjadi bersifat subyektif dan dilihat dari kepentingannya.
Berdasarkan alur cerita tadi, maka seyogyanya harus ada pemahaman yang sama tentang pengertian Kepentingan Nasional ini. Secara heroik sebagai masyarakat awam, tentu sepakat bahwa di era globalisasi, kita harus mengamankan kepentingan nasional. Tapi secara implementatif harus diupayakan tidak ada persepsi yang berbeda dan bersifat subyektif dalam memahami pengertian kepentingan nasional tersebut.
Kepentingan nasional harus bisa didefinisikan dan juga harus dapat dengan mudah dimengerti oleh para pejabat publik dan kita semua sebagai warga negara. Bilamana perlu dirumuskan secara gamblang dan eksplisit, jangan diformulasikan hanya secara filosofis dan ada semacam buku panduannya yang bersifat mengikat. Ini penting, apalagi sekarang ini dalam rangka kerja sama internasional kita banyak melakukan perundingan-perundingan internasional di tingkat multilateral, regional maupun bilateral di berbagai bidang dan isu.
Di saku para juru runding harus selalu ada “kamus” tentang kepentingan nasional agar mereka dalam menjalankan tugas perundingannya, memiliki pegangan yang jelas, obyektif dan clear tentang kepentingan nasional yang harus dibela dan diperjuangkan. Dan jangan sampai terjadi di sisi kantong baju yang lain tersimpan kamus tentang kepentingan lain, yang subyektif dan tidak clear dilihat dari kepentingan nasional yang sebenarnya.
Sebagai petugas negara yang mendapat mandat untuk menyelenggarakan perundingan-perundingan internasional, diharamkan membawa misi lain, selain misi negara, misi merah putih yang melindungi segenap warga negara Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
Perundingan-perundingan tentang Free Trade Area (FTA) dengan berbagai negara di berbagai kawasan, siapapun yang ditunjuk sebagai ketua delegasi, tidak boleh berbahasa lain selain menggunakan bahasa kepentingan nasional. Itu yang harus diperjuangkan.
Kaitan dengan judul artikel ini, sebagai sumbang saran dari warga negara biasa, sebaiknya Kepentingan Nasional harus ditetapkan melalui Kebijakan Publik yang bersifat mengikat (mandatory). Mengikat bagi seluruh penyelenggara negara dan mengikat bagi msyarakat luas.
Alasannya sangat sederhana karena kita saat ini sedang kena wabah penyakit pragmatisme, politik transaksional dan penyakit mau benar sendiri. Penyakit ini harus diberantas dan virusnya harus dimusnahkan karena ini sangat berbahaya bagi para tunas-tunas bangsa yang masih memiliki idealisme sebagai para calon pewaris, pemimpin masa depan di negeri ini.
Kita telah memasuki zona rawan pangan dan energi. Politik ekonomi dulu-duluanan, siapa cepat dia dapat bukan sesuatu yg mustahil bisa terjadi di mana pun. Kalau tidak salah, para pakar pangan dunia memperkirakan bahwa dalam satu dekade ke depan dunia benar-benar akan menghadapi krisis pangan (semoga tidak terjadi).
Catatan ini hanya ingin sekadar mengingatkan kembali bahwa betapa sudah menjadi sangat urgent, Indonesia beserta segenap bangsa memiliki tanggungjawab bersama ikut memikirkan dan merumuskan apa itu “Kepentingan Nasional” sebagai Kebijakan Nasional”dalam suatu negara yang berdaulat dan memiliki kedaulatan. Negara Indonesia ialah negara kesatuan.
Kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Dalam kaitan ini maka sangat tepat bila MPR yang menjadi pemrakasa lahirnya produk hukum nasional sebagai kebijakan nasional yang mengatur dan menetapkan tentang “KEPENTINGAN NASIONAL” dalam bingkai negara Indonesia sebagai negara hukum. ***