Kenaikan PPN 12 Persen Dapat Batalkan Pertumbuhan Ekonomi 8 Persen
Oleh : Alfath Nur Fauzan
BARU-baru ini, pemerintah telah mengumumkan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari sebelumnya 11 persen menjadi 12 persen. Kenaikan ini diatur berdasarkan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
PPN dikenakan atas konsumsi barang dan jasa yang berlaku bagi masyarakat Indonesia sesuai dengan Pasal 4 angka 2 UU HPP, yang mengubah Pasal 7 ayat (1) UU PPN. Dalam aturan tersebut, tarif PPN ditetapkan sebesar 11 persen sejak 1 April 2022 dan akan naik menjadi 12 persen mulai 1 Januari 2025.
Aturan baru ini menimbulkan kontroversi di tengah masyarakat, terutama karena kondisi ekonomi yang belum sepenuhnya stabil . Sebelum membahas dampak negatifnya, mari kita pahami terlebih dahulu objek-objek yang dikenai PPN:
- Penyerahan barang kena pajak di dalam wilayah Indonesia oleh pengusaha kena pajak.
- Impor barang kena pajak.
- Pemanfaatan barang kena pajak tidak berwujud dari luar negeri di dalam wilayah Indonesia.
- Pemanfaatan jasa kena pajak dari luar negeri di dalam wilayah Indonesia.
- Ekspor barang kena pajak berwujud oleh pengusaha kena pajak.
- Ekspor barang kena pajak tidak berwujud oleh pengusaha kena pajak.
- Ekspor jasa kena pajak oleh pengusaha kena pajak.
Kenaikan PPN menjadi 12 persen diperkirakan akan berdampak signifikan pada masyarakat, terutama kelompok kelas bawah. Hal ini akan menyebabkan peningkatan harga barang dan jasa.
Mengutip pernyataan Direktur Kebijakan Publik CELIOS, Media Wahyudi Askar, kenaikan PPN sebesar 12 persen akan menambah pengeluaran kelompok miskin sebesar Rp101.880 per bulan, sementara kelas menengah ke atas akan mengalami kenaikan pengeluaran sebesar Rp354.293 per bulan.
Kondisi ini berpotensi memperburuk keadaan ekonomi dengan meningkatkan risiko kelompok menengah jatuh menjadi kelompok rentan. Dengan demikian, apakah kenaikan PPN 12 persen sudah tepat?
Menurut saya, kebijakan ini perlu dibatalkan karena tidak memberikan keadilan ekonomi, terutama bagi kelas menengah ke bawah, kelas bawah akan menjadi kelompok ynag berda di dalam garis kemiskinan yang sangat miskin dan menjadi kelompok yang ter marjinalkan.
Dampak kenaikan PPN ini sangat besar, terutama karena dapat memperlebar kesenjangan antara si kaya dan si miskin, yang jelas memprihatinkan bagi negara yang bercita-cita menjadi Negara maju seperti Indonesia.
Sementara, mengutip pernyataan Prabowo di Kompas TV, dalam Forum Ekonomi Qatar di Doha pada Mei 2024, Prabowo Subianto optimistis bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia akan mencapai 8 persen dalam waktu 2-3 tahun. Namun, kebijakan kenaikan PPN ini justru bertentangan dengan cita-cita tersebut.
Ketika PPN dinaikkan, daya beli masyarakat otomatis berkurang, yang pada akhirnya menghambat pertumbuhan ekonomi dan pendapatan negara akan terhambat akan terjadinya peningkatan pengangguran, menurunya daya beli masyrakat dan lain lain yang leibih parah.
Akan Terhambat
Hal ini sejalan dengan pendapat Pakar Ekonomi Universitas Muhammadiyah Surabaya, Arin Setyawati, yang menyatakan bahwa kebijakan ini berdampak langsung pada daya beli masyarakat kelas bawah, sehingga mereka harus menghabiskan proporsi pendapatan yang lebih besar untuk konsumsi.
Saat ini, Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia dari konsumsi rumah tangga mencapai 50-60 persen. Artinya, kontribusi terbesar untuk PDB berasal dari konsumsi rumah tangga. Jika kebijakan ini diterapkan, maka pertumbuhan ekonomi akan terhambat, bahkan cita-cita pertumbuhan ekonomi 8 persen berisiko gagal tercapai.
Pakar Ekonomi Universitas Airlangga, Dr. Sri Herianingrum, SE, MSc, menyebut bahwa meskipun kenaikan pajak meningkatkan pendapatan negara, hal ini juga berpotensi mengurangi aktivitas mikro ekonomi.
Dampaknya akan terasa pada proses produksi akibat kenaikan biaya yang mengurangi profitabilitas perusahaan. Jika profitabilitas perusahaan menurun, permintaan konsumen juga akan berkurang akibat kenaikan harga barang dan jasa. Selain itu, perusahaan harus menyesuaikan harga jual, yang dapat menghilangkan pelanggan dan menyebabkan kebangkrutan serta PHK massal.
Lalu siapa yang akan dirugikan jika kebijakan PPN ini masih terus di lanjutkan? Pertama kelas menengah ke atas akan dirugikan, Dampak Kenaikan PPN bagi Kelas Menengah ke atas 1.
Kelas Menengah Atas Harus membayar lebih untuk produk yang sama Berpotensi menjadi kelas menengah ke atas yang rentan.
Jika konsumsi barang dan jasa menurun, PDB rumah tangga akan berkurang, yang berdampak pada perlambatan pertumbuhan ekonomi Kelas Menengah atas, jika ini tidak ditunda, negara akan mengalami kerugian yang cukup besar salah satunya akan menurunkan PDB rumah tangga.
Jika kelas atas mengurangi konsumsi pembelian barang dan jasa ini akan berdampak terhadap melambatya pertumbuhan ekonomi indonesia, belum lagi dari sektor bisnis kelas mengengah atas sering menjadi investor utama atau konsumen dari bisnis tertentu, jika mereka membatasi pengeluaran atau investasi dari beberapa bisnis.
Misalnya properti, pariwisata dan barang mewah maka ini akan berdampak terhadap perlambatan ekonomi, Efek Dominonya akan terjadi penurunan yang mempengaruhi pasok, menciptakan dan menciptakan efek domino yang berujung pada pengurangan lapangan keja dan pengurangan pajak dan lainya.
Rentan mengalami tekanan ekonomi karena biaya hidup meningkat tanpa kenaikan pendapatan. Menghadapi kesenjangan sosial yang semakin tajam dibandingkan kelas menengah atas.
Berisiko mengalami stres ekonomi yang menurunkan kualitas hidup dan produktivitas kerja, kelas mengah ke bawah adalah kelompok yang sangat dirugikan dalam hal ini selain mengalami stres ekonomi, mereka akan menglami stres sosial karna tidak mampu menyeimbangkan antara pemasukan dan pengeluaran mereka. Sungguh sangat tidak adil jika pemerintah terus memakskan aturan ini berjalan, pemerintah hari ini harus senantiasa berpihak kepada kaum yang tertindas atau kelas menengah ke bawah.
Kenaikan PPN ini juga mempengaruhi usaha mikro yang melayani kelas menengah bawah. Daya beli yang rendah akan menghambat perkembangan usaha mikro, memperburuk ketimpangan pendapatan, dan menyebabkan instabilitas sosial serta ekonomi dalam jangka panjang.
Solusinya adalah Pemerintah harus mempertimbangkan untuk menunda kenaikan PPN 12 persen atau bahkan membatalkannya. Mengutip mantan Dirjen Pajak era Presiden SBY, Hadi Poernomo, pemerintah dapat menerapkan sistem perpajakan berbasis monitoring self-assessment untuk menjaga penerimaan negara tanpa membebani masyarakat.
Alternatif ini memungkinkan negara memaksimalkan penerimaan pajak tanpa menambah beban pada masyarakat.
Selain itu pemerintah bisa menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang ( Perppu) agar kenaikan pajak 12 persen bisa di batalkan. (Penulis adalah Ketua Bidang Pemberdayaan Umat HMI Cabang Kota Bogor)