Kecukupan

Loading

Oleh : SM.Darmastuti

ilustrasi

ilustrasi

APA yang paling menyenangkan ketika orang sudah merasa ‘kecukupan’ hidupnya? Pertanyaan seperti ini jarang dipertanyakan, karena memang manusia pada umumnya tidak pernah merasa cukup. Sehingga untuk merasa cukup ia berani melanggar kejujuran atau berbohong dengan mengambil yang bukan menjadi haknya. Ada sebuah ceritera klasik karya Aeosop, seorang penulis fabel yang hidup di Yunani (620 – 564 Sebelum Masehi) seperti berikut.

Seekor anjing pada suatu hari mendapatkan sepotong daging. Dia sangat senang, dan mencoba mencari tempat yang nyaman untuk menikmati daging itu. Ketika sedang berlari kecil mencari tempat yang teduh, dia menyeberangi jembatan melewati sungai. Tanpa sengaja dia melihat bayangannya sendiri di air sungai yang bening seperti cermin. Anjing itu mengira dia melihat anjing lain membawa sepotong daging juga. Didorong oleh nafsunya untuk memperoleh daging yang nampaknya lebih besar dari miliknya, dia melepaskan gigitannya dan terjun ke sungai untuk merebut daging dari anjing yang dia lihat.

Anjing serakah itu akhirnya tidak memperoleh apa pun. Daging miliknya hanyut, dia sendiri basah kuyup tanpa menemukan apa yang dia inginkan. Ceritera yang sesungguhnya berisi gambaran manusia yang tidak pernah puas itu memang sangat efektif untuk mengingatkan kita betapa perilaku manusia yang selalu mengejar sesuatu atas dorongan nafsunya, akhirnya hanya akan menuai penyesalan.

Di dunia yang semakin ‘rusak’ ini, kita banyak menyaksikan bagaimana manusia yang karena tidak kuat godaan gemerlapnya harta akhirnya terjerumus dalam tindakan korup, memakai uang panas, menerima suap bahkan menawarkan diri untuk menjadi pedagang barang haram yang memberinya kemudahan memperoleh harta banyak dalam waktu yang sangat singkat. Ketika dia terjerat hukum karena perbuatannya, dia akan meratapi nasib yang sebenarnya dia rintis sendiri. Nama baiknya hancur, orang tidak akan percaya lagi padanya. Dunianya ‘lepas’ sementara surga masih jauh dari jangkauannya.

Seorang teman di Jogjakarta menyatakan: “Seorang pengusaha yang tidak dapat dipercaya omongannya, sama saja dengan bunuh diri. Dunianya akan tertutup, karena orang sudah tidak lagi percaya padanya.” Sebab orang yang tidak dapat dipercaya tutur katanya, atau tidak menetapi janji dan kesanggupannya, termasuk orang yang mendua hatinya (pembohong).

Kejujuran memang akan mendatangkan keadilan. Ketika seseorang sudah sempurna watak jujurnya, dia tidak akan pernah lagi iri dengan kepemilikan orang lain. Dengan legawa (ikhlas) dan sabar dia mau menerima bagiannya, karena percaya bahwa Tuhan telah membagi rejeki masing-masing manusia sesuai apa yang mereka butuhkan. Nah, dari pengolahan watak jujur, ternyata orang akan otomatis belajar ikhlas, sabar, narima dan percaya secara simultan. Orang demikian akan tergolong mereka yang sudah merasa ‘kecukupan.’

Mungkin masih kita ingat ceritera seorang anak yang pelit, yang ketika dia diberi ibunya sepotong roti dan adiknya meminta secuil, dia mengatakan bahwa rotinya habis. Dia memperlihatkan tangan kirinya yang kosong. Padahal tangan kanannya yang disembunyikan di belakang badannya masih menggenggam roti tersebut.

Tanpa dia ketahui, seekor ayam jantan mendekat dan mematuk roti yang dia pegang. Ayam jantan yang berhasil mencuri roti anak pelit itu lari kencang, sementara si pelit hanya dapat menangis tanpa kuasa berbuat apa pun. Seperti halnya orang yang serakah, orang yang pelit tidak ubahnya seperti orang yang tidak pernah merasa kecukupan. Orang seperti ini sulit berbagi, iri apabila ada orang lain mendapatkan kebertuntungan melebihi dirinya, dan dia tega berbohong demi keuntungannya sendiri. Dari keserakahan, ternyata seseorang akan belajar juga ketidakjujuran. Sifat jelek ternyata akan menarik sifat jelek yang lainnya.

Ceritera anak-anak semacam itu sesungguhnya memberi pesan moral yang cukup menyentuh: Kemauan berbuat baik, akan menarik sifat baik, dan sebaliknya perbuatan buruk akan menuai sifat buruk. Sederhana sekali. Ternyata konsep ‘menanam dan memetik’ banyak diyakini orang-orang dari kalangan apa pun – bahkan sejak jaman sebelum masehi – karena memang terbukti kebenarannya. Apakah kita termasuk orang bijaksana yang percaya dan mau belajar dari ‘nasehat’ para ahli budi? Semua akan terjawab ketika kita tidak lagi melakukan perbuatan salah untuk membuktikan sebuah kebenaran. ***

CATEGORIES
TAGS

COMMENTS