Kebijakan Konsensus Washington

Loading

Oleh: Fauzi Aziz

Fauzi Aziz

Fauzi Aziz

TEMA ini harus disampaikan kembali ke ruang publik. Apa itu? “Konsensus Washington”. Paket kebijakan Konsensus Washington pada hakikatnya adalah sebuah agenda pokok paket kebijakan yang menjadi menu dasar structural adjusment progam IMF yang dalam garis besarnya terdiri dari, pertama, pelaksanaan kebijakan anggaran yang ketat, termasuk penghapusan subsidi negara dalam berbagai bentuknya. Kedua, pelaksanaan liberalisasi sektor keuangan. Ketiga, pelaksanaan liberalisasi sektor perdagangan. Keempat, pelaksanaan privatisasi BUMN.

Ketika Indonesia terkena imbas krisis ekonomi tahun 1998, resep IMF tersebut ditelan mentah-mentah oleh pemerintah Indonesia kala itu dengan harapan agar Indonesia dapat pulih pertumbuhan ekonominya dan mobilitas perekonomiannya dapat menjadi lebih efisien karena digerakkan oleh mekanisme pasar.

Coba kita tengok sekilas apakah 4 resep tersebut masih terus dijalankan oleh pemerintah?.Jawabnya masih, dan sampai sekarang hampir seluruh kebijakan ekonomi nasional masih berada pada mainstream ekonomi yang landasan pokoknya adalah 4 pilar agenda pokok Konsensus Washington. Contoh, kita tengok kebijakan fiskal yang dianut oleh pemerintah masih berprinsip pada pengelolaan fiskal yang ketat. Penerapan kebijakan fiskal yang sangat hati-hati (prudent), dan ini bisa kita baca di mana pemerintah selalu dengan ketat menjaga defisit anggaran.Saat ini defisit anggaran hanya sekitar 1,5% dari PDB.

Liberalisasi sektor keuangan hingga sekarang juga masih berlangsung. Hasilnya adalah pertumbuhan sekktor keuangan dalam PDB cukup tinggi, yang pada 2012 mencapai 7,26%. Lembaga keuangan asing, seperti sektor perbankan dan asuransi cukup mendominasi dalam operasional di tanah air. Nilai asetnya juga makin besar. Neraca modal dan finansial pada 2012 menghasilkan surplus USD 24,911 miliar.

Pada sektor perdagangan, juga sama saja, prinsipnya masih menganut asas liberalisasi. Sektor ini dalam PDB tahun 2012 tumbuh 13,90%. Sektor impor tumbuh 6,65%, sementara itu ekspornya hanya tumbuh 2,01%. Pada tahun yang sama, terjadi defisit neraca perdagangan sebesar USD 1,63 miliar. Nilai defisitnya menjadi membengkak pada posisi neraca transaksi berjalan yang mencapai USD 24,183 miliar.

Dengan gambaran yang seperti itu, maka sejak 1998 hingga sekarang,’berulangkali posisi neraca pembayaran nasional selalu mengalami tekanan berat.Tahun lalu, surplusnya hanya mencapai USD 0,2 miliar. Pada ranah yang lain, privatisasi BUMN jalan terus dengan berbagai alasan. Ekspansi lebih banyak dilakukan dengan cara listing di pasar modal atau menerbitkan obligasi korporasi. Dan ini terjadi karena kebijakan fiskal tidak mampu lagi memberikan dukungan maksimal untuk membiayai ekspansi BUMN, karena penerapan kebijakan fiskal yang ketat.

Akibat patuh dan tunduk menerapkan kebijakan Konsensus Washington hingga sekarang, maka tidaklah mengagetkan kalau sektor pertanian dalam arti luas, sektor industri pengolahan dan sektor pertambangan dan bahan galian, selama satu dasawarsa lebih hanya tumbuh rata-rata antara 3-6%/tahun. Sementara itu, sektor jasa-jasa mampu tumbuh antara 6-10% rata-rata per tahun.

Inilah sekilas potret kecil akibat pemerintah hingga sekarang menjadi muridnya IMF yang loyal. Pertanyaannya, apakah yang seperti itu masih bisa dianggap sesuai dengan total nilai semangat yang terkandung dalam UUD 1945 (pembukaan dan batang tubuhnya, tidak hanya sebatas pasal 33 saja), monggo MPR menjawabnya. ***

CATEGORIES
TAGS

COMMENTS