Karyamu Tidak Harus Selalu Number One
Oleh: Fauzi Aziz

ilustrasi
INI adalah sebuah sudut pandang. Pendekatan berfikirnya hanya berdasarkan logika dan keyakinan, bukan berdasarkan proses ilmiah dengan menggunakan metode penelitian. Mengapa demikian. Karena dalam dunia bisnis pada dasarnya tidak harus selalu meraih posisi seperti dalam sebuah auidisi yang memang diadakan untuk mencari pemenang, siapa berhasil meraih posisi nomor satu, nomor dua dan seterusnya. Karya, untuk seterusnya kita sebut saja karya Indonesia untuk bisa diterima oleh para pengagumnya dan para pencintanya serta digunakannya tidak perlu selalu meraih posisi number one.
Yang penting Karya Indonesia yang dihasilkan dapat bersemi di hati penggemar karena dia memang disukai, dia hadir pada saat yang tepat dikala dibutuhkan dan diinginkan. Number one kalaupun diperlukan, pada dasarnya hanya sekedar untuk menstimulasi dan memotivasi agar kita terus rajin berkarya dan karya-karya yang kita hasilkan selalu hadir ditengah-tengah masyarakat saat diperlukan dan dapat memuaskan para pemburunya.
Dimana saja dan kapan saja Karya Indonesia harus selalu ada dan hadir dalam realitas pasar. Keberadaan dan kehadirannya dalam realitas pasar lebih penting ketimbang mendapat predikat number one. Apalah artinya number one kalau realitas pasarnya tidak banyak bisa dikapitalisasi secara material dalam bentuk profit bagi pembuatnya. Jika demikian apa yang bisa menopang agar karya itu selalu mendapatkan tempat di hati para pemburunya.
Kata para ahli, proses kreatif dan inovasinya tidak boleh berhenti apalagi distop sama sekali di workshopnya agar produk yang dihasilkan tetap bisa eksis di pasar. Para ahli dan para praktisi bisnis menyatakan proses kreatif, inovasi dan pasar itu harus selalu menyatu. Lihat microsoft, aple dll. Produk yang dihasilkannya selalu ditunggu penggemarnya karena konsumen yakin yang akan beredar di pasar pasti ada hal yang baru, baik dilihat secara pisik maupun dari fungsi dan kegunaanya.
Hal ini terjadi karena diworkshopnya, proses inovasi selalu aktif bekerja dan hasilnya sebelum barangnya beredar, produsen maupun distributornya sudah mempromosikan kepada khalayak bahwa produk generasi kesekian akan segera beredar di pasar. Bahkan dalam realitas pasar, masyarakat sudah mulai mengkaitkan dengan masalah isu lingkungan hidup.
Sebuah karya jika dihasilkan dengan menggunakan bahan yang bisa didaur ulang atau memakai bahan limbah padat/cair akan lebih dihargai para pengguna dibanding produk yang tidak ramah lingkungan. Keunikan produk juga hal lain yang adakalanya juga menjadi incaran para konsumen.
Bagi kawula muda yang sekarang sedang menekuni dunia kewirausahaan adalah menjadi sebuah keniscayaan bahwa mereka pasti tidak akan pernah meninggalkan proses kreatif untuk melakukan inovasi. Mereka pasti aktif mengamati gerak dan dinamika pasar yang sedang tumbuh maupun sebaliknya. Mereka aktif mencari tahu tentang trend mode (kalau dia adalah produk fasion) dari berbagai sumber agar karya yang dihasilkan tidak ditolak oleh pasar.
Lagi-lagi tidak harus number one yang dikejarnya. Mereka pasti tidak akan mengedepankan egonya ketika berhadapan dengan realitas pasar, meskipun mereka mampu menghasilkan yang terbaik menurut ego dan kreatifitasnya. Bagi para pelaku cipta Karya Indonesia di bidang apapun di sektor industri, pertanian dan sektor UMKM jangan pernah “terjebak” oleh obsesi harus number one dalam berkarya.
Energi kita bisa habis gara-gara kita ingin menjadi number one. Yang nomor satu, nomor dua, nomor tiga dan nomor berapun, masing-masing punya daya tarik sendiri di hati para penggemarnya. Yang terpenting adalah Karya Indonesia itu harus selalu bersahabat dengan pasar baik di dalam negeri maupun di mancanegara. Yakinkan kepada penggemar anda di dalam negeri dengan para konsumen bahwa Karya Indonesia adalah juga baik dan berkualitas, harganya secara relatif tidak mahal.
Persahabatan dengan pasar dilakukan dengan proses komunikasi inten dengan menggunakan berbagai media yang dianggap cocok dan tepat. Kita sebagai bangsa Indonesia harus selalu memiliki obsesi dan sikap yang realistis dan nuraninya harus digerakkan bahwa Karya Indonesia itu adalah milik kita bersama. Mau number one atau number two tidak terlalu penting.
Sikap ini seperti kalau anda mau beli sepatu atau sandal, rasionalitasnya akan mengatakan bahwa yang paling pertama dicari adalah yang paling enak dan nyaman di kaki, baru setelah itu mempertimbangkan faktor lain. Begitu pula ketika hendak membeli pakaian, yang dicari pasti kalau dipakai enak di badan. Orang awam selalu menyebutnya “jatuhnya” enak di badan.
Akibat dari itu, secara emosional orang tsb akan selalu mencari produk itu di pasar karena sudah kenal karakternya. Tidak harus number one, tidak berarti boleh memalsukan atau menjiplak milik orang lain. Karya Indonesia sebaiknya original. Untuk kepentingan perlindungan kekayaan intektual, Karya Indonesia sebaiknya bisa dipatenkan, baik paten sederhana maupun paten tidak sederhana.
Kalau ada pihak yang meniru dan memalsukan harus dapat ditindak secara hukum. Kalau tidak, bisa mematikan semangat untuk melakukan inovasi. Dan kalau ini dibiarkan, berarti kita sama saja menyuburkan orang untuk berkarya dengan menjiplak dan memalsukan. Pasar hanya akan diisi barang-barang palsu dan off spec. Kalau ini banyak kita temui di pasar dan di masyarakat, maka berarti kita hidup dalam kehidupan ekonomi underground. Berarti secara sadar atau tidak, kita memberikan ruang hidup bagi pencuri, penyelundup dan para pemalsu.
Masyarakat rugi dan negarapun menjadi rugi karena tidak ada penerimaan pajak yang masuk ke kas negara untuk membiayai pembangunan di negeri ini. Tidak elok hidup dengan cara ini. Efeknya berarti kita memberikan pendidikan yang salah dan tidak patut pada diri sendiri, keluarga dan masyarakat. ***