Jokowi dan Aguan Berkolaborasi Menguasai Aset Negara Secara Melawan Hukum
Oleh: Petrus Selestinus
PRINSIP hapusnya hak atas tanah menurut UU Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, terjadi bilamana “tanahnya jatuh kepada Negara” (karena jangka waktunya berakhir, dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir karena sesuatu syarat tidak terpenuhi, dicabut haknya untuk kepentingan umum; dan “tanahnya musnah”.
Tanah Musnah menurut ketentuan Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria adalah tanah yang berubah fungsi bentuknya karena peristiwa alam, sehingga tidak dapat digunakan sebagaimana mestinya, karenanya hak atas tanahnya dihapus, namun anehnya pada saat yang sama diberikan prioritas untuk rekonstruksi dan reklamasi.
Saat ini terdapat fakta yang sudah notoire feiten bahwa di wilayah pesisir laut PIK II, Tangerang, Banten, Kepala Kantor (Kakan) Pertanahan Kabupaten Tangerang, telah menerbitkan 263 SHGB untuk perusahaan yang terafiliasi dengan PT Agung Sedayu Group (PT. ASG) yaitu PT Intan Agung Makmur (PT IAM) dan PT Cahaya Inti Sentosa (PT CIS), serta 17 SHM kepada beberapa perorangan, pada tahun 2023.
Anehnya pemberian SHGB kepada PT IAM dan PT CIS dan SHM kepada beberapa orang, diterbitkan di atas wilayah pesisir laut, padahal penerbitan sertifikat hak atas tanah di atas wilayah laut merupakan perbuatan yang dilarang UU bahkan UUD 1945, seperti dimaksud dalam Putusan MK No. 3/ PUU-VIII/2010, tanggal 16 Juni 2011 yang mencabut beberapa pasal dari UU No. 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, terkait hak pengusahaan wilayah pesisir laut.
Bukti lain adalah adanya sanksi administratif dari Menteri ATR/Kepala BPN terhadap pajabat yang melakukan pelanggaran dengan mencabut SGHB dan memberhentikan pejabat BPN Kabupaten Tangerang.
Jebakan Batman Jokowi
Menyikapi terbitnya 263 SHGB dan 17 SHM di pesisir laut PIK II, Tangerang, Banten, Menteri ATR/Kepala BPN Nusron Wahid secara tegas mengatakan bahwa 263 SHGB dan 17 SHM, yang diterbitkan oleh Kakan Pertanahan Kabupaten Tangerang tahun 2023 dan diberikan kepada PT IAM, PT CIS, kepada perorangan bernama Surhat Haq dan kepada pihak lain sebanyak 17 SHM, ilegal karena mengandung cacat hukum secara formil dan materiil.
Akibatnya Menteri ATR/Kepala BPN Nusron Wahid telah menjatuhkan sanksi administratif berupa pencabutan SHGB dan SHM berikut Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Tangerang dan staf petugas lapangan diberi sanksi pemberhentian dari jabatan dan sanksi administratif lainnya.
Sebagai perusahaan yang terafiliasi dengan PT ASG, maka PT IAM dan PT CIS sangat diuntungkan dengan penerbitan 263 SHGB dan 17 SHM oleh Kakan Pertanahan Kabupaten Tangerang pada tahun 2023, karena dengan demikian PT IAM dan PT CIS memiliki hak prioritas untuk merekonstruksi dan mereklamasi wilayah laut atas alasan “Tanah Musnah”.
Banyak kebijakan Jokowi yang dikemas melalui UU dan Peraturan Perundang-Undangan di bawahnya yang sangat merugikan negara. Peraturan Perundang-Undangan dimaksud adalah; Ketentuan pasal 66 PP No.18 Tahun 2021 tentang Hak Atas Tanah, Pasal 46 PP. No. 42 Tahun 2021, Tentang Kemudahan PSN, (karena kekuasaan lembaga Penegak Hukum diperlemah) dan Permen ATR/Kepala BPN No. 3 Tahun 2024, yang memberi hak prioritas kepada bekas pemegang hak atas tanah untuk merekonstruksi dan mereklamasi tanah musnah.
Di sini terdapat korelasi kepentingan pengusaha dan penguasa, ada konspirasi dan kolaborasi diduga terjadi antara Presiden Jokowi ketika itu dengan Aguan atau PT ASG untuk menguasai secara melawan hukum kekayaan negara berupa wilayah pesisir laut yang strategis (Tangerang, Jakarta dan Bekasi), untuk dikelola oleh PY ASG.
Alasannya, karena wilayah pesisir laut menurut UU No. 6 Tahun 2023 Tentang Cipta Kerja yang mengubah UU No. 1 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, secara tegas menyatakan bahwa Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil merupkan bagian dari sumber daya alam, kekayaan yang dikuasai negara dan penyangga kedaulatan bangsa, yang perlu dijaga kelestariannya dan dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, bagi generasi sekarang maupun generasi yang akan datang.
KPK Periksa Jokowi Dkk
Kebijakan Presiden Jokowi diduga didasarkan pada niat jahat untuk KKN lewat pasal 66 PP No.18 Tahun 2021, tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah dstnya., Pasal 46 PP. No. 42 Tahun 2021, Tentang Kemudahan PSN (yang mengamputasi wewenang Penegak Hukum) dan Permen ATR/Kepala BPN No. 3 Tahun 2024, Tentang Tata Cara Penetapan Tanah Musnah, yang membunuh eksistensi Masyarakat Hukum Adat, Masyarakat Tradisional dan Masyarakat Lokal dengan memberi hak prioritas kepada pemegang Hak Atas Tanah di laut merekonstruksi dan mereklamasi “Tanah Musnah”.
Jika dilihat dari tempus dan locus pembangunan PIK II, serta relasi kepentingan PSN PIK II di mana pada saat yang hampir bersamaan wilayah pesisir laut PIK II sudah berada dalam kepungan proyek-proyek PT ASG, maka kebijakan Jokowi lewat UU Cipta Kerja jo. PP No. 19 Tahun 2021, PP No. 18 Tahun 2021, PP No. 42 Tahun 2021 jo. Permen No. 3 Tahun 2024, telah membuka ruang yang lebar bagi pihak yang berniat jahat untuk menguasai wilayah laut lewat rekayasa “Tanah Musnah” karena di sana ada hak prioritas merekonstruksi dan mereklamasi laut atas alasan Tanah Musnah.
Untuk itu diperlukan suatu penyelidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi terkait penguasaan dan pemilikan wilayah laut dengan 263 SHGB dan 17 SHM di PIK II, Tangerang Banten, secara melawan hukum, ini modus kejahatan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme yang diberi payung hukum dengan UU, PP dan Permen ATR/Kepala BPN.
KPK perlu memanggil Jokowi, Aguan, Hadi Tjahjanto, Nono Sampono, Fredy Numberi dkk untuk didengar keterangannya guna memastikan apakah telah terjadi tindak pidana korupsi, kolusi dan nepotisme dan siapa saja pelakunya.
Ini sangat urgent karena UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, yang secara tegas menyatakan wilayah pesisir merupakan kekayaan negara, penyangga kedaulatan bangsa dan sangat protektif terhadap masyarakat hukum adat, masyarakat tradisional dan masyarakat lokal, justru diamputasi oleh Jokowi lewat kebijakan UU Cipta Kerja, PP dan Permen demi memperkaya diri, kroni-kroninya dan oligarki. (Penulis adalah Koordinator TPDI & Pergerakan Advokat Nusangtar)