Jaksa Agung Masih “Berhutang” Nyawa
Oleh: Marto Tobing

Basrief Arief
SELAMA para terpidana mati itu belum menerima kepastian berkekuatan hukum tetap (inckhrag) dari putusan Mahkamah Agung (MA), termasuk di luar konteks hukum berupa penerimaan atau penolakan grasi dari presiden, sama saja Jaksa Agung (Basrief Arief) masih “berhutang” nyawa.
“Hutang” nyawa itu melekat pada ruang waktu penantian yang berkepanjangan dan tidak diketahui entah kapan pemilik nyawa ratusan jiwa terpidana mati itu dieksekusi. Bertahun-tahun mereka “dipaksa” dalam penantian saatnya merenggang nyawa lepas penderitaan selama hidupnya di balik jeruji besi sel tahanan.
Jaksa Agung Basrief Arief mengakui sampai saat ini baru dua kejaksaan tinggi (Kejati) yang sudah siap melaksanakan eksekusi terhadap terpidana mati. “Yang sudah melaporkan ke saya baru dua Kejati yang siap melaksanakan eksekusi. Dua Kejati itu adalah Kejati DKI Jakarta dan Kejati Banten,” ujar Basrief menanggapi TubasMedia.Com terkait nasib para terpidana mati yang selama ini masih terkatung-katung.
Tanpa bermaksud membuka ruang alasan, Basrief mengakui pelaksanaan eksekusi mati itu membutuhkan persiapan dan harus memenuhi ketentuan yang diatur dalam UU No. 2/Pnps/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Mati. “Itu ada prosedurnya. Jadi ini berproses terhadap upaya hukum luar biasa,” tandasnya. Upaya hukum luar biasa itu berupa Peninjauan Kembali (PK) ke MA termasuk jika terpidana mati itu mengajukan permohonan grasi kepada presiden.
Sampai Oktober 2010 tercatat 100 terpidana mati, baru tujuh terpidana mati yang vonisnya berubah dan enam terpidana mati lainnya melarikan diri serta tiga terpidana mati meninggal dunia sebelum dieksekusi. Sisa selebihnya masih dalam penantian.
Menurut Basrief, semula dari 116 terpidana mati tergolong atas kejahatan pembunuhan berencana sebanyak 55 perkara, narkotika dan psikotropika 58 perkara sedangkan kejahatan teroris sebanyak dua perkara. Khususnya ketujuh terpidana mati vonisnya berubah menjadi hukuman seumur hidup.
Kemudian satu terpidana mati berubah menjadi 12 tahun serta tiga terpidana mati meninggal dunia sebelum dieksekusi. Sedangkan terpidana mati Jufri bin H Muhammad Dahri berhasil melarikan diri dari LP Maros pada 19 Februari 2003 dan hingga kini belum diketahui keberadaannya.
Mereka yang juga menanti kepastian adalah Merika Pranola pada 22 Agustus 2000 divonis mati di Pengadilan Negeri Tangerang, Banten. Isteri bandar narkotika asal Norwegia yang tewas di Cipete Jaksel itu ditangkap bersama saudaranya Merry Utami karena kedapatan membawa 1,1 kilogram heroin.
Harnoko Dewantoro alias Oki kejahatan pembunuhan berencana pada 13 Mei 1997 divonis mati di PN Jakpus. Pada 11 Juni 2001 mengajukan grasi kepada presiden, namun 12 tahun masih dalam penantian. Hunphrey Ajike alias Doktor kejahatan narkotika pada 6 April 2004, WN Nigeria ini divonis mati juga belum dieksekusi karena masih akan mengajukan PK dari LP Pasir Putih Nusakambangan.
Gap Nadi alias Papa kejahatan narkotika pada 8 Oktober 1997 divonis mati. Mengajukan grasi pada 11 Juni 2001 namun WN Nigeria ini masih harus menunggu diampuni tidaknya oleh presiden. Nasib serupa juga menimpa Eugene Ape alias Felixe WN Nigeria.
Sejak divonis mati kejahatan narkotika pada 4 November 2003 hingga kini masih menunggu hasil putusan PK sama dengan terpidana mati Ek Fere Dike Ole Kamala alias Samuel. WN Nigeria ini menunggu nasibnya sejak divonis pada 6 Oktober 2003.
Begitu juga dengan terpidana mati kasus narkotika Tham Tuck Yun alias A Tjai. WN Malaysia ini harus menunggu hasil grasi yang diajukan pada 29 Maret 1996. Tak terkecuali, Gunawan Santoso alias A Cin sejak divonis mati pada 24 Juni 2004 atas kejahatan pembunuhan berencana, juga masih menunggu eksekusi kendati MA telah menolak upaya hukum kasasinya sejak 9 Maret 2005.
Terpidana mati kejahatan narkotika lainnya yang juga senasib adalah atas nama Seck Osmane, WN Senegal, Martin Anderson alias Belo, Yudha Akang, Sastra Wijaya, Tjik Wang alias Akwang alias Ricky Chandra, Federik Luttar, Lim Jit Wee alias Kim, Jet Luie Chandra alias Cece, Iwan Dermawan Mutho alias Rais alias Fajar (teroris), Achmad Hasan alias Agung Cahyono alias Purnomo (teroris). Kedua teroris ini tidak mengajukan upaya hukum. Vonis mati langsung diterima namun sejak tahun 2005 keduanya belum juga dieksekusi.***