Industri Tumbuh di Atas Landasan Kebijakan yang Fragmentatif
Oleh: Fauzi Aziz

Fauzi Aziz
MENTERI Perindustrian, MS.Hidayat dalam acara jumpa pers akhir tahun 2012 di kantor Kementrian Perindustrian Jakarta 17 Desember 2012 menyatakan hingga triwulan-III, 2012, industri manufaktur tumbuh 6,50%, di atas pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 6,29 %.
Patut diberikan apresiasi atas kinerja tersebut, meskipun di dalam negeri berbagai masalah menghadang. Kalau kita lihat perkembangannya selama 8 tahun terakhir (2005-2012 TW III komulatif), PDB industri manufaktur rata-rata per tahun tumbuh 5,67%. Sementara itu, PDB ekonomi pada kurun waktu yang sama tumbuh 5,89% rata-rata per tahun.
Perjalanan panjang untuk mencapai kinerja pertumbuhan PDB industri manufaktur seperti sebelum krIsis 1998 masih banyak hal yang harus dibenahi, yang paling menonjol adalah dukungan infrastruktur pisik maupun non fisik.
Fasilitas fiskal seperti tax holiday pelaksanaannya tidak semulus yang kita bayangkan. Hingga sekarang baru ada dua investor yang permohonannya sudah diajukan ke Menkeu, tapi belum jelas kapan dapat disetujui. Padahal yang berminat cukup banyak.
Momentum pertumbuhan industri di masa depan seiiring dengan berbagai proyeksi pertumbuhan ekonomi yang akan berada pada kisaran 7%, kita harapkan kilas balik benar-benar dapat terjadi dimana kontribusi sektor industri terhadap PDB ekonomi, bisa mencapai level rata-rata 24%.
Kalau kita lihat data yang ada, kontribusi sektor industri terhadap PDB ekonomi sejak 2008 terus mengalami penurunan. Tahun 2008, angkanya masih 23,01%, turun menjadi 22,61% di tahun 2009. Pada tahun 2010 turun lagi menjadi 21,51%, di tahun 2011 menurun lagi menjadi 20,92%.
Sampai dengan triwulan ke-3 2012 baru sekitar 20%. Neraca perdagangan hasil industri non migas Januari-September 2012, ternyata menghasilkan defisit sebesar US$ 16,94 miliar. Fakta-fakta tersebut memberikan indikasi bahwa secara struktural, industri manufaktur di Indonesia menghadapi persoalan efisiensi, produktifitas dan daya saing.
Jika problem struktural tidak diatasi, maka meskipun secara agregat industri manufaktur bisa tumbuh 7,13% pada tahun 2013 sesuai proyeksi yang dibuat oleh Kemenperin, pertumbuhan tersebut terjadi di atas landasan high cost economy. Artinya faktor biaya input dalam proses industrialisasi di Indonesia masih lebih mahal dibanding dengan negara lain.
Akibatnya harga satuan output-nya juga menjadi relatif lebih mahal pula. Ke depan, proses industrialisasi di Indonesia tidak bisa dibiarkan “sendirian” pada level pengelolaan policynya. Pembangunan industri harus dibangun dengan kaidah-kaidah kebijakan berbasis kluster, dalam artian kebijakan antar kementrian harus sinergis bersifat kolaboratif.
Kebijakan industri, perdagangan, investasi, standardisasi dan teknologi, adalah merupakan policy cluster utama. Moneter dan fiskal adalah merupakan payung dari klaster utama. Misinya adalah menjaga stablitas ekonomi makro. Dan yang terakhir adalah klaster pendukung, yakni infrastruktur fisik dan non fisik.
Kalau fragmentasi kebijakannya dibiarkan terus terjadi seperti sekarang, maka menjadi berat dan mahal ongkosnya untuk melakukan proses industriaisasi guna menjawab masalah dan tantangan utamanya yaitu efisiensi, produktifitas dan daya saing. Pertumbuhan industri akan menjadi lebih bermakna bagi perekonomian bila pemerintah melalui dukungan kebijakannya bisa memberikan kontribusi nyata bagi upaya perbaikan efisiensi, produktifitas dan daya saing. ***