Hikmahanto: Kondisi Indonesia Mengerikan

Loading

Laporan: Redaksi

ilustrasi

JAKARTA, (tubasmedia.com) – Guru Besar Hukum Internasional UI, Hikmahanto Juwana mengatakan kondisi Indonesia saat ini sangat mengerikan. Hampir seluruh kebutuhan pangan dan nonpangan di Indonesia diisi dengan produk-produk impor, padahal Indonesia dikenal dengan negara kaya sumber daya alam.

‘’Indonesia sebuah negara yang sumber daya alamnya besar, tapi pemerintah memberlakukan Indonesia seperti Singapura. Semuanya diimpor. Makanya kita tanya pemimpin kita, mau bawa kemana negeri ini,’’ kata Hikmahanto dalam seminar “Dampak Aksesi Framework Convention on Tobacco (FCTC) Terhadap Industri Hasil Tembakau di Jakarta, Selasa.

‘’Coba simak apalagi yang belum diimpor, mulai dari cabe, bawang, garam, jagung, jahe dan tembakau. Padahal negeri kita tergolong negara penghasil semaunya itu,’’ tegasnya.

Terkait dengan FCTC, katanya Kementerian Kesehatan ingin masyarakat sehat, tapi ada juga pro choise artinya silakan masyarakat memilih mau merokok atau seperti apa.

Banyak instrumen internasional yang tidak diperhatikan. Banyak perjanjian internasional menggantikan kolonialisme. Cara mengendalikan Indonesia adalah dengan membuat perjanjian internasional, setelah kita retifikasi kita wajib menurunkan ke peraturan dalam negeri.

‘’Kalau kita bisa memberikan warna di perjanjian internasional, saya setuju. Kalau kita iya-iya aja jangan mau. FCTC diusulkan WHO sehingga ada ego sektoral perspektif kesehatan dan di Indonesia disuarakan Kemenkes. Tapi kan masalah tembakau harus dilihat dari perspektif yang lebih luas, apa lagi Indonesia yang penghasil tembakau dari zaman dulu,’’ katanya.

Di China keberpihakan pemerintah terhadap pelaku usaha sangat besar. Di Indonesia tidak demikian. Perspektif pemerintah harus holistik. Perjanjian internasional harus hati-hati, harus dilihat kepentingannya, negara mana yang merupakan produsen dan konsumen tembakau dan Indonesia bakal kena kalau ikut perjanjian itu. ‘’Kalau hanya untuk pencitraan mending lupakan saja,’’ tambahnya.

Pemerintah katanya hanya bisa ratifikasi tanpa implementasi. Kalau FCTC kita ratifikasi dan ternyata ada yang tidak setuju dan membawa ke MK dan dikabulkan, menurutnya, pemerintah akan seperti apa? Pemerintah harus bertanya siapa konstituennya, siapa yang harus mereka perjuangkan.

Hikmahanto bertanya kira-kira apa kepentingan negara/organisasi inisiator, apakah mereka berpikir industri dalam negeri kita harus digoyahkan karena mereka punya kepentingan ekonomi di sini mengingat persaingan binis.

Katanya, sesuai kehendak hukum internasional ada dua komponen soal ratifikasi. Pertama melalui undang-undang, kedua melalui peraturan presiden. Kemenkes sepertinya menghindari UU karena banyak urusan dengan DPR sehingga bisa diakali ratifikasi melalui perpers. ‘’Jangan sampai pemerintah saling menyelingkuhi untuk kepentingan pribadi,’’ katanya. (sabar)

CATEGORIES
TAGS

COMMENTS