Harga Sembako Merambat Naik
Oleh: Fauzi Azis

SETIAP jelang bulan Ramadhan dan hari raya Idul Fitri, harga sembako selalu naik. Ketika kita bertanya kenapa harga itu naik, jawabannya mudah ditebak yaitu permintaan naik, pasokan barang berkurang dan infrastruktur parah. Tidak akan ada jawaban lain. Soal pasokan apa memang betul berkurang atau jangan-jangan sengaja dikurangi sehingga terjadi ketidak seimbangan permintaan dengan penawaran.
Keadaan ini sudah pasti para pemasok sembako berpesta pora menikmati “keuntungan” lebih tanpa harus mempedulikan “kerugian” yang diderita oleh sebagian masyarakat yang tidak memiliki hak jawab untuk bisa “menolak” kenaikan harga sembako di pasar.
Perlindungan terhadap konsumen nyaris tidak ada. Membiarkan para produsen dan para pemasok sembako berpesta pora menikmati keuntungan lebih dianggap sebagai haknya yang layak untuk dinikmati mereka.
Dalam hal para produsen dan pemasok menghadapi kesulitan dalam bisnisnya, pemerintah sibuk mencarikan solusinya, apakah melalui subsidi, keringanan pajak dan bea masuk, maupun menggunakan instrumen lain yang memungkinkan. Tapi kalau konsumen mengalami tekanan berat akibat harga-harga sembako naik tajam, paling hanya dikasih obat puyeng berupa operasi pasar.
Peristiwa inipun, pemerintah sebenarnya hanya bertindak sebagai EO (event organizer) saja karena yang melakukan operasi pasar hakekatnya para produsen dan para pemasok. Ini tidak adil dan bahkan bisa kita anggap berlawanan dengan semangat konstitusi sebagaimana tercantum dalam pembukaan UUD 1945.
Di republik ini ada UU tentang perlindungan konsumen, ada badan khusus yang menangani perlindungan konsumen, ada YLKI, tapi instrumen itu nyaris mandul ketika konsumen menghadapi problem kenaikan harga. Mereka paling hanya bisa berujar bahwa naik turunnya harga adalah sesuai mekanisme pasar.
Ini juga jawaban standar yang selalu kita dengar. Dengan demikian berarti ada semacam pengakuan dari para pejabat publik dan juga YKLI bahwa inilah konsekwensi logis dari sebuah negara yang menganut rezim ekonomi pasar alias ekonomi liberal.
Dalam konteks Indonesia, faktor intervensi pemerintah manakala terjadi gangguan pasar ada perlakuan yang tidak adil dan tidak seimbang antara yang dinikmati oleh para produsen dan oleh para konsumen.
Para produsen tatkala mengalami tekanan pasar melalui asosiasi bisa teriak kencang dan melakukan loby ke pemerintah untuk meminta diberlakukannya kebijakan yang bersifat proteksi atau meminta stimulus fiskal, keringanan pajak dan sebagainya Sementara para konsumen nyaris terbatas aksesnya untuk minta fasilitas dan kemudahan seperti yang bisa dinikmati oleh para produsen.
Konsumen tidak memiliki kemampuan loby seperti yang dijalankan oleh para produsen, sekalipun ada YKLI. Konsumen tidak punya daya dan tenaga untuk melakukan perburuan rente seperti yang sering dilakukan para produsen, meskipun populasi konsumen jumlahnya pasti lebih besar dari jumlah para produsen dan pemasok.
Inilah realitas yang kita hadapi dalam sistem ekonomi liberal yang tunduk kepada hukum pasar, kekuatan para produsen lebih tinggi dari pada kekuatan para konsumen dalam mempengaruhi pembuatan kebijakan publik di suatu negara.
Padahal kalau kita kembalikan kepada semangat amanat konstitusi sebagaimana termaksud dalam pembukaan UUD 1945, semua kita apakah produsen, konsumen atau semua warga negara, memiliki hak yang sama mendaptkan perlindungan oleh negara.
Berdasarkan semangat ini, maka hak-hak dasar para konsumen di negeri ini harus dijamin dan dilindungi agar kepentingannya tidak selalu dirugikan. Hak-hak dasar itu bisa berupa jaminan kepastian mutu, jumlah dan harga yang pantas serta mudah mendapatkannya kapan saja dan dimana saja tanpa harus ada perbedaan satu sama lain yang mencolok.
Kalau hal itu terjadi,maka bisa dianggap berlawanan dengan semangat konstitusi. Salah satu bentuk jaminan dan perlindungan terhadap konsumen agar terjaga dari kenaikan harga yang tidak wajar, maka sudah waktunya pemerintah dapat mempertimbangkan menerapkan kebijakan kontrol harga seperti yang berlaku di negeri jiran Malaysia. ***