Cara Rakyat Biasa Memahami APBN
Oleh: Fauzi Aziz

ilustrasi
SEBAGAI rakyat biasa cukup bisa mengerti bahwa APBN adalah kependekan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Ada unsur pemasukan/pendapatan dan ada unsur pengeluaran/belanja. Rakyat kemudian mencoba menyederhanakan pemahaman, bahwa kalau begitu dalam APBN pada hakikatnya hanya ada dua isu pokok dilihat dari pos pembelanjaan, yakni belanja untuk keperluan sehari-hari (belanja rutin) dan belanja investasi (biasa disebut belanja pembangunan).
Rakyat kemudian menjadi mengerti dengan mengatakan, negara memang butuh dana untuk mencukupi belanja rutin, tapi ketika mencoba memahami tentang belanja investasi, maka rakyat menjadi penasaran dan sambil bertanya-tanya, apa saban hari, atau tiap bulan, atau saban tahun harus berinvestasi untuk membangun sarana dan prasarana fisik.
Sikap penasarannya makin menjadi-jadi, apa yang akan dibangun, di mana akan dibangun dan berapa bujet yang diperlukan untuk membiayai pembangunan tersebut. Kalau di tingkat koorporasi rasanya belanja investasi fisik tidak dilakukan saban tahun. Perusahaan akan mempertimbangkan untuk berinvestasi jika keperluannya memang ada, misalnya, untuk perluasan usaha, membeli peralatan baru, atau mengganti peralatan yang telah usang, dan investasi di bidang SDM guna merespons dinamika pasar.
Dan semuanya itu diputuskan dalam RUPS. Sebagai rakyat, lantas berpikir lagi, sambil berupaya meyakinkan diri sendiri bahwa mengapa pola belanja pemerintah konstruksinya tidak disederhanakan, seperti itu, agar rakyat dapat ikut memonitor apa yang sedang dinvestasikan pemerintah, di mana investasi itu, dan berapa besar anggarannya.
Kalau memang pada tahun anggaran tertentu, tidak ada rencana untuk melakukan investasi, maka tidak sepatutnya kementerian/lembaga (K/L) yang bersangkutan mendapatkan alokasi anggaran investasi pada tahun yang bersangkutan, kecuali hanya hanya mendapatkan alokasi belanja rutin. Dengan demikian, pemerintah dan DPR memiliki dana tabungan sebagai sumber energi tambahan untuk melakukan investasi pada saat diperlukan dan pada saat yang tepat, tanpa harus berutang.
Investasi tidak mungkin dapat dilakukan tanpa ada feasibility study (FS). Dalam investasi sudah sangat terukur apa output, outcome, dampak dan manfaatnya. Lokus dan fokusnya juga sudah jelas, berapa biayanya dan berapa lama durasi waktu untuk menyelesaikan proyek. Jika pola ini dipakai, maka sebagai rakyat bisa mudeng dan mudah memahaminya, dan yakinlah bahwa APBN yang tahun ini sudah mencapai Rp 1.600 triliun akan menjadi cukup untuk mendukung belanja investasi.
Sebagai rakyat yang tidak mengerti tentang APBN, maka pada kesempatan ini mencoba mengusulkan kepada pemerintah dan DPR agar mulai tahun depan pola belanja pemerintah itu hanya dibagi dalam tiga klasifikasi dari aspek peruntukkannya, yakni, pertama, belanja rutin,kedua belanja investasi, yang dibagi dua, yakni investasi fisik/infrastruktur dan investasi SDM, yang berorientasi pro-growth untuk meningkatkan produktivitas, yang mempunyai efek pendorong pertumbuhan ekonomi, dan ketiga, belanja sosial (sebagai wahana untuk mendukung progam jaring pengaman sosial), yang berfungsi sebagai bentuk kepemihakan politik anggaran pemerintah kepada masyarakat kecil dan sebagai perwujudan fungsi distribusi pendapatan di masyarakat yang menjadi salah satu fungsi APBN.
“Double Account”
Presiden sebagai kepala pemerintahan/sebagai CEO pemerintah harus punya waktu untuk mendengarkan paparan K/L yang memilki rencana untuk melakukan investasi. Dan harus bisa memutuskan bahwa investasi dimaksud bisa disetujui dan fisibel untuk dilaksanakan. Kalau tidak fisibel harus ditolak. Sekarang ini terus terang saja pemerintah boros mengelola APBN. Kegiatan rutin yang “disisipkan” pada belanja investasi masih banyak terjadi di sana-sini. Belum lagi tumpang-tindih yang potensi terjadinya double account menjadi sangat terbuka dan nilainya sangat besar.
Ada lagi yang kegiatannya sangat business as usual. Pada pos belanja rutin saja sejatinya juga masih banyak terjadi pemborosan penggunaan anggaran, misalnya, pada pos belanja perjalanan, pemeliharaan, serta penyediaan alat tulis kantor. Sebagai rakyat kemudian mencoba menyimpulkan bahwa jika format belanja negaranya seperti itu, maka fungsi APBN agar mampu menciptakan lapangan kerja baru serta menurunkan angka pengangguran dan kemiskinan, akan bisa tercapai secara terukur.
Nilai yang bersifat inklusif dapat terpenuhi dan artinya pemerintah dapat dinilai berhasil bahwa pembangunan yang dijalankan benar-benar secara riil melibatkan masyarakat agar mereka menjadi produktif.
Upaya mewujudkan akselerasi pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkualitas hanya bisa dilakukan melalui peningkatan kinerja investasi langsung fisik, yang dalam PDB tercermin melalui komponen PMTB yang dalam 8 tahun terakhir (2005-2012) rata-rata mencapai 30,56%. Jika belanja investasi pemerintah (pusat/daerah) dapat lebih diarahkan, maka sumbangan komponen PMPB terhadap PDB bisa mencapai rata-rata 35-40%. Sebagai perbandingan, Vietnam pada tahun 2007 berhasil memperbesar belanja investasi fisiknya secara masif, sehingga sumbangan komponen PMTB-nya terhadap PDB mencapai 38% lebih.
Oleh sebab itu, menciptakan efisiensi alokasi belanja negara dan tingkat penyerapannya menjadi hal penting untuk diwujudkan. Pemerintah harus mengambil sikap yang lebih terukur dan tidak setengah hati untuk melakukan pembenahan yang tidak tambal- sulam, baik pada sisi perencanaan anggaran maupun sisi pelaksanaan, pengawasan dan pengendalian. ***