Bebas Hambatan, Semua Beres?
Oleh: Fauzi Azis

Fauzi Azis
UNGKAPAN ini adalah sebuah pernyataan yang logis dan jika dalam dunia nyata ungkapan semacam itu benar-benar terjadi, maka barangkali 80% masalah kehidupan manusia di bumi akan bisa terpecahkan.
Tapi manusia suka aneh dengan perilakunya sendiri. Membuat hambatan yang disengaja atau tidak, adakalanya manusia senang bermain dan suka mempertontonkan dirinya menciptakan perilaku yang bersifat menghambat. Memang tidak semua yang berlabel menghambat semuanya jelek, tapi malah sebaliknya bisa bernilai positif bagi kehidupan manusia.
Progam Keluarga Berencana (KB) adalah salah satu contohnya. Dia dilakukan dengan tujuan untuk menghambat ledakan jumlah penduduk. Masih banyak lagi contoh yang lain, misal melarang orang melakukan perambahan hutan, ini adalah tindakan positif karena kalau hutan dibiarkan bebas dirambah maka hutan akan gundul, akibatnya merusak lingkungan hidup.
Menghambat yang berdampak buruk, mencari contohnya sangat mudah dan hal yang seperti ini banyak terjadi di negara kita. Di lembaga perizinan banyak sekali terjadi. Mendapatkan izin dipersulit. Menjadi mudah kalau diberi asupan gizi bisa berupa harta/fulus, bisa juga suap wanita cantik. Astaga.
Ekonomi Indonesia sebetulnya kalau tidak banyak mengalami hambatan di dalam negeri, pertumbuhannya bisa di atas 7%. Masyarakatnya hanya sedikit yang miskin dan menganggur. Orang sehat makin banyak. Penyakit stress, depresi, darah tinggi, jantung akan berkurang secara masif karena semua yang berurusan dengan keperluan hidup manusia berjalan lancar.
Memperlancar segala hal yang berkaitan dengan urusan kehidupan manusia di bumi adalah ibadah dan berpahala asal dilakukan dengan ihlas demi kemanusiaan yang adil dan beradab. Interaksi sosial antara penguasa dengan rakyatnya kalau dapat berlangsung cair tanpa ada hambatan, dampaknya pasti positif, sehingga konflik sosial akan bisa dicegah.
Harmonisasi sosial, rasa saling mempercayai dan saling menghormati akan tumbuh dengan sendirinya. Tapi kalau para penguasanya mengambil jarak dan pelakunya gemar berada di ruang yang bersekat-sekat, antara sekat penguasa, politik dan rakyat, maka hal yang demikian pada dasarnya sama saja menaman benih yang bisa menghambat dalam proses komunikasi antara penguasa, politisi dan rakyatnya.
Sekat-sekat itu akan menjadi lahan yang subur terjadinya rasa saling curiga. Sekat semacam itu belum tentu menjadi kehendak para pemimpin, biasanya ada invisible hand yang menjadi pembisik agar sang penguasa tak perlu bertemu muka langsung dengan rakyatnya. Hambatan yang bersifat pisik relatif mudah dapat ditanggulangi.
Tapi rintangan atau hambatan yang bersifat sosial dan psikologis jauh lebih sulit mengatasinya karena di dalamnya berisi campur aduk. Ada yang berbau sara, gengsi, harga diri dan lain-lain. Opini ini mengambil kesimpulan bahwa “Bebas Hambatan, Semua Beres” betul adanya.
Indonesia hari ini menghadapi dua hal yang mendasar dalam membangun bangsa dan negaranya, yakni hambatan bersifat fisik dan hambatan bersifat sosial pskologis. Hambatan fisik mudah diatasi, asal ada uang semua beres. Jalan, jembatan, air bersih bisa dibangun dengan cepat.
Tapi yang paling parah justru terjadi pada hambatan yang bersifat sosial psikologis. Manusia secara pribadi atau kelompok punya pride, punya perasaan dan pada sisi yang lain juga punya kepentingan dan bahkan hidden agenda tersendiri untuk membela kepentingannya.
NKRI, pemekaran wilayah, soal kesejahteraan dan keadilan menjadi sangat sensitif bila berurusan dengan masalah psikososial masyarakat yang beragam karakternya. Hambatan terbesar pelaksanaan pembangunan di negeri ini sejatinya lebih banyak terjadi di wilayah psikososial ini, yang tidak hanya bisa diatasi dengan membuat UU atau membangun secara fisik batas-batas wilayah semua hambatan menjadi beres.
Oleh sebab itu, perilaku penguasa dan elit parpol di dalam kehidupan yang demokratis tidak boleh abai terhadap masalah psikososial masyarakat yang sangat plural dewasa ini dan makin sensitif terhadap setiap perubahan yang terjadi di sekitar kita. Untuk menjadi Indonesia yang digdaya di masa depan, bangsa Indonesia harus bisa mengatasi dua hambatan besar itu, yakni yang bersifat fisik dan psikososial.
Jika berhasil, maka baru kita dapat berucap “Bebas Hambatan Semua Beres”. Proses komunikasi sosial dan interkasi sosial secara tulus para penguasa dan elit parpol ke depan harus makin berlangsung inten dan terbuka, bukan hanya sekedar basa-basi politik seperti yang terjadi selama ini. Sikap arogansi harus mulai ditinggalkan.
Kesan yang terbentuk adalah para penguasa asik sendiri, politisi sibuk sendiri dengan mainannya, masyarakat karena merasa kurang terurus akhirnya bekerja dengan nalurinya sendiri, sehingga tanpa disadari bahwa yang menghambat kemajuan di negeri ini sebenarnya ada pada diri kita sendiri sebagai bangsa dan negara.
Ancaman terhadap keutuhan NKRI sejatinya bukan datang dari luar, tapi justru dari dalam. Inner beauty bangsa ini menjadi memudar. Cinta tanah air juga meredup. Lebih bersikap egaliter sangat diperlukan dalam melakukan proses komunikasi sosial dengan masyarakat.
Sekat-sekat sosial dan budaya harus diminimalisir sehingga persatuan dan kesatuan akan lebih mudah diwijudkan. Karakter kepemimpinan sosial, ngguyub dan makin dekat dengan rakyat dikala suka dan duka harus muncul dari presiden terpilih pada pilpres tahun 2014 beserta para calon pembantunya. Begitu pula di kalangan yang berkiprah pada lembaga tinggi negara yang lain (MPR, DPD, DPR, MA, MK dan lain-lain). ***