Batik, Generator Ekonomi Nasional

Loading

Laporan: Redaksi

Rahardi Ramelan - Fauzi Azis

Rahardi Ramelan - Fauzi Azis

YOGYAKARTA, (Tubas) – Industri batik nasional memiliki potensi untuk dijadikan generator atau pembangkit ekonomi nasional. Namun, jika potensi itu tidak digali lebih dalam, generator bisa tidak berfungsi, lalu mati kemudian tidak ada artinya sama sekali. Karena itu pasca pengakuan Unesco, tugas kita menjadi semakin berat.

Demikian terungkap dalam seminar nasional IKM Batik dan Pameran Eco di Balai Besar Kerajinan dan Batik, Yogyakarta, Rabu. Seminar yang berlangsung selama tiga hari (21-23 Juni 2011) itu diharapkan mampu menelurkan gagasan-gagasan baru guna mengangkat dan menjadikan batik penghela ekonomi nasional.

Staf Ahli Menteri Perindustrian bidang Pemasaran dan P3DN, Fauzi Azis yang tampil menjadi salah satu nara sumber dalam paparannya menyatakan jika Indonesia benar-benar mau menjadikan batik sebagai bisnis, Indonesia, khususnya mereka yang bergerak dalam bidang industri batik, harus pula benar-benar menjadikan batik dan memperlakukan sekktor industri itu sebagai bisnis yang dapat meningkatkan pendapatan.

Pengakuan batik sebagai bisnis, katanya, tentu menimbulkan dampak positif baik dilihat dari dampak budaya maupun dampak ekonomi. Karena itu khusus yang terkait dengan dampak ekonomi, para pengrajin dituntut untuk mempelajari kehendak dan keinginan pasar.

Dipastikan oleh Fauzi bahwa jika industri batik tidak diyakini sebagai salah satu sumber pendapatan dan yang mampu mendulang keuntungan, tidak mungkin ada pihak yang mau menekuni bisnis batik.

Hanya saja lanjut mantan Dirjen Industri Kecil dan Menengah (IKM) Kemenperin ini, jika sudah bicara tentang bisnis, khususnya agar kegiatan ekonomi dan bisnis batik ke depan semakin meningkat pertumbuhannya, semua lini harus mendapat perhatian serius.

Antara lain katanya, langkah bisnis harus berubah, harus siap berubah dan siap pula menerima perubahan. Misalnya jumlah pesaing akan terus meningkat dan mereka semakin pintar. Tanpa menyikapi perubahan, Fauzi yakin bisnis batik tidak akan berkembang bahkan lama-kelamaan akan mati.

Untuk mewujudnyatakan batik sebagai bisnis yang mampu mendulang keuntungan, kata Fauzi, para pelaku industri batik harus memiliki naluri atau sikap memanjakan pelanggan. Banyak hal yang perlu diperhatikan, yaitu mutu produk, desain, corak serta harga yang wajar.

Tidak dibenarkan menjual produk berkualitas rendah dengan harga tinggi dan pemasaran yang benar adalah pemasaran yang adil serta harga dan kualitas yang harus selaras. Banyak hal yang diungkap Fauzi dalam memanjakan pelanggan seperti misalnya jangan pernah membuat pelanggan kesulitan untuk mendapatkan produk yang dibutuhkan. Jangan pula pernah mencoba untuk menipu atau berlaku tidak jujur dalam hal kualitas, kuantitas, harga dan waktu penyampaian.

Di bagian lain uraiannya dikatakan saat ini banyak negara di dunia mau menjadikan batik salah satu industri garmen mereka. Disebut Cina dan Malaysia. Saat ini sejumlah pasar Indonesia mulai dibanjiri batik asal Cina. Namun katanya Indonesia tidak perlu khawatir menghadapinya sebab mutunya pasti jauh berada di bawah batik Indonesia.

Namun katanya, kita perlu waspada menghadapinya melalui peningkatan mutu, perbaikan corak serta penetapan harga yang wajar.

Sementara itu, Rahardi Ramelan, mantan Menteri Perindustrian yang saat itu tampil sebagai peserta menyatakan kalau batik asal Cina adalah pesanan pengusaha Indonesia karena di Cina biaya produksi batik printing jauh lebih murah dibanding Indonesia.

Batik Cina pesanan pengusaha Indonesia menurutnya sangat berbahaya terhadap masa depan batik Indonesia. Karena itu batik Cina harus diperangi dan dibasmi sampai tuntas. “Memeranginya harus terus menerus dan pemerintah tidak boleh berpangku tangan dalam kasus batik Cina,” katanya kepada tubasmedia.com usai acara. (sabar)

CATEGORIES
TAGS

COMMENTS