Banyak Impor, Risaukah?

Loading

Oleh: Fauzi Azis

Ilustrasi

Ilustrasi

PANTASKAH barang impor dirisaukan oleh kita? Jawabnya, pasti ada yang risau. Tapi, jangan lupa. Ada juga yang senang kalau pasar di dalam negeri dibanjiri barang impor. Siapa mereka? Wou.. tidak usah disebut.

Produk migas masih diimpor dan hampir pasti, negeri ini akan menjadi net importir. Industri manufaktur 80% juga masih tergantung bahan baku/penolong impor. Kelompok sosialita, golongan the have dan golongan kelas menengah baru juga sangat gandrung membeli barang impor.

Kalau seperti ini kondisinya, maka akal sehat mengatakan bahwa impor diperlukan dan tidak perlu dirisaukan. Para penggiat semangat berdikari, swasembada, para pelopor semangat membangun national interest boleh dikata termasuk sekelompok masyarakat yang risau dengan semakin banyaknya barang impor di negeri ini.

Para ahli pangan di IPB juga salah satunya yang ikut risau. Mereka risau karena maklum banyak produk hasil pertanian sekarang ini banyak yang diimpor. Lho kok, selama ini ngapain saja kok ikut-ikutan kaget. Inilah realitas yang kita hadapi. Jadi ada dua kubu, yang satu pro impor dan kubu yang lain adalah kelompok anti impor. Dua-duanya juga menggunakan akal sehatnya dalam mengahdapi realitas yang ada.

Semoga saja tidak sentimentil yang berkepanjangan dan kemudian menjadi emosional. Coba kita kembali ke UUD 1945, hampir tak ada satu pasalpun yang secara ekplisit dan implisit mengatur tentang perlunya pengaturan tentang impor. Yang mendapatkan perhatian dalam UUD 1945 pasal 33, antara lain adalah tentang pentingnya demokrasi ekonomi, pengaturan dan pengelolaan sumber daya alam yang strategis bagi negara dan rakyat serta masalah pentingnya kemandirian ekonomi.

Prespektif lain mari kita coba tengok kembali tentang teori output ekonomi yang rumusnya kita kenal dengan Y= C+I+G+(X-M). Dengan rumus ini kita diberikan sebuah pemahaman bahwa. Output ekonomi suatu negara akan dihasilkan oleh adanya penjumlahan dari faktor belanja konsumsi masyarakat (I), faktor investasi(I), faktor pengeluaran belanja pemerintah (G) dan faktor ekspor dikurangi impor(X-M).

Output ekonomi tersebut kalau tiap tahun diperbandingkan (year on year), maka kita kenal istilah pertumbuhan ekonomi. Dari ini saja kita memperoleh suatu pemahaman bahwa impor tetap kita butuhkan. Hanya saja perlu juga dimengerti bahwa yang penting jangan sampai membuat neraca perdagangan suatu negara menjadi defisit, maka dari itu rumusnya menjadi X-M dan X faktornya harus diupayakan selalu lebih besar dari M faktornya agar menghasilkan surplus dalam jumlah yang signifikan.

Dengan simulasi yang sederhana seperti itu berdasarkan pendekatan konstitusi maupun teori ekonomi, maka pada dasarnya impor tidak bisa dinafikkan begitu saja. Barangkali yang tepat adalah bahwa impor harus terkelola agar jangan sampai menimbulkan beban bagi perekonomian nasional.

Manajemen impor itu bentuknya macam-macam dari yang paling ekstrim berupa pelarangan impor, kuota impor dan administratif impor. Jadi sebenarnya tidak tepat kalau kita bersikap merisaukan terhadap adanya impor baik barang/jasa. Yang seharusnya kita patut risau justru kenapa bangsa ini tidak pernah berhasil membangun daya saingnya yang penyebabnya justru lebih banyak terjadi di dalam negeri.

Infrasruktur parah, pelayanan publik belum memberikan harapan baik bagi masyarakat, korupsi jalan terus, suku bunga mahal, ongkos logistik juga mahal, potensi sumber daya ekonomi tidak dioptimalkan untuk kepentingan pembangunan nasional (SDA, SDM dan iptek). Doktrin politik ekonomi nasional tak kunjung berhasil diposisikan dalam alam globalisasi, hukum dan perundang-undangannya banyak yang perlu diharmonisasikan kembali karena tumpang tindih satu sama lain, tidak sejalan dengan semangat konstitusi dan kepentingan nasional.

Ini yang sejatinya kita semua patut risaukan karena ekonomi kita tidak sehat atau belum sehat. Kerisauan ini bagi masyarakat bisa menimbulkan masalah ketidak percayaan kepada penguasa (distrust). Maaf, tidak usah lebay menghadapi realitas ini dan jawabanya adalah mari kita bersama-sama dengan semangat nasionalisme yang sehat kita bangun ekonomi nasional yang bersaing tanpa harus bersikap risau karena makin banyaknya impor yang nilainya terhadap PDB sekitar 25%.

Yang perlu adalah kelola belanja konsumsi masyarakat dan arahkan dan didik pola konsumsinya, perbesar kue investasi riil, perbesar nilai dan volume ekspor, optimalkan belanja pemerintah jangan buat bancakan/dikorupsi habis-habisan dan kelola impor agar total output ekonomi yang dihasilkan bermanfaat bagi masyarakat, bangsa dan negara.

Berunding di tingkat regional, global dikelola berdasarkan semangat itu, bukan dengan semanagat yang lain-lain tidak jelas juntrungannya, termasuk diam-diam menggadaikan aset negara.***

CATEGORIES
TAGS

COMMENTS