APBN Tidak Punya Daya Ungkit untuk Perekonomian

Loading

Oleh: Fauzi Aziz

Fauzi Aziz

Fauzi Aziz

BELANJA pemerintah (goverment expenditure) dalam ekonomi, merupakan salah satu penyumbang pertumbuhan. Tahun 2013, nilai APBN mencapai Rp 1.683 triliun. Jika struktur belanjanya kita bagi dalam dua kelompok besar seperti halnya dalam rumah tangga perusahaan, yakni terdiri dari modal kerja dan modal investasi, maka nampaknya jumlah modal kerjanya jauh lebih. besar (bisa mencapai sekitar 70%) dan belanja investasinya hanya sekitar 30%.

Inilah yang menyebabkan APBN tidak mampu menjadi daya ungkit pertumbuhan ekonomi. Kontribusinya dalam pembentukan PDB realisasinya tidak lebih dari 10%. Kalau diperhitungkan dengan nilai kebocoran yang selama ini terjadi,kontrubusi bisa lebih kecil lagi, bisa hanya tinggal 3-5%.

Hal tersebut terjadi karena beberapa situasi, antara lain adalah, 1) Basis alokasi dan distribusi anggaran pendekatannya lebih menitikberatkan pada aspek untuk mendukung pelaksanaan tupoksi kementrian/lembaga. 2) Anggaran berbasis kinerja lebih fokus menilai kinerja kementrian/lembaga dalam mengelola anggaran yang basis dasarnya adalah tertib administrasi dan manajemen keuangan negara.

Tidak mengherankan bila sekarang ini masing-masing kementerian/lembaga lebih berlomba-lomba mendapatkan status WTP (wajar tanpa pengecualian). 3) Politik anggaran apapun fokus dan prioritasnya, dilihat dari penyelenggaraan fungsi alokasi dan distribusi anggaran, akhirnya berujung pada terbagi habisnya anggaran untuk mendukung pelaksanaan tupoksi kementerian/lembaga, yang komposisinya lebih banyak teralokasi pada pos modal kerja /pos belanja operasional daripada pos belanja investasi.

APBN sebagai fungsi stabilitas dan pertumbuhan ekonomi menjadi tidak maksimal. Contoh kecil, jumlah anggaran kementan sudah makin besar mencapai Rp. 19,3 triliun, namun pertumbuhan sektor pertanian cenderung stagnan yaitu 3,97% pada tahun 2012.

Swasembada hanya di atas kertas. Impor barang dan bahan pangan masih besar nilainya. 4) Budaya business as usual dalam pengelolaan APBN belum bisa dihilangkan dan pemerintah harus jujur mengakuinya. Kejar tayang untuk mengejar volume output lebih banyak dilakukan dari pada mengejar kualitas output yang dapat menghasilkan outcome dan dampak untuk menghasilkan pertumbuhan.Business as usual berarti pemborosan dan akan memperbesar potensi terjadinya kebocoran.

Hal ini terjadi karena Sistem Pengendalian Internal(SPI) implementasinya belum berjalan dengan baik, tidak optimal. 5) Reformasi birokrasi di persimpangan jalan. Konsep besarnya tidak jelas. Organisasi kelembagaan kementrian/lembaga rata-rata masih gemuk di pusat juga di daerah. Kapasitas terpasangnya besar tapi realisasinya rendah dalam menghasilkan output, apalagi outcome dan dampaknya.

APBN hanya berputar-putar di lingkaran yang sama, tidak berhasil menjadi daya ungkit pertumbuhan. Hanya ada tiga saran yang dapat disampaikan dari opini ini: 1) Rekonstruksi fungsi alokasi dan distribusi APBN ke dalam dua pendekatan, yakni pos belanja operasional dibatasi sampai batas maksimum 30-40% dan berarti pos belanja investasi bisa mencapai 60-70% agar bisa menyumbang pertumbuhan. 2) Reformasi birokrasi harus tegas diarahkan untuk melakukan rekonstruksi,reposisi dan rasinalisasi kelembagaan kementrian/lembaga di pusat/daerah dlm rangka melaksanakan kebijakan re-inventing goverment.3) SPI harus dijalankan secara efektif agar perencanaan,pelaksanaan dan pengawasan APBN terkelola dengan baik sesuai dengan prinsip good governance. ***

CATEGORIES
TAGS

COMMENTS