Apa Bedanya Menghina dan Mengkritik, ada yang Tau?
Oleh:Sabar Hutasoit
MUNCUL polemik tentang perlu tidaknya pasal hukuman terhadap para penghina Presiden. Ada yang setuju namun tak sedikit yang melontarkan protes bernada ledekan. Pejabat itu harus bertelinga tipis dan jangan gampang panas, kira-kira begitu cemoohan banyak elite kita.
Sebelum jauh membahas tentang polemik antara mendukung dan tidak mendukung tentang perlu tidaknya pasal dimaksud, rasanya perlu kita pelajari dulu apa itu kritikan dan apa pula itu penghinaan. Dimana pula perbedaannya.
Yang pasti sekali adalah, kalimat-kalimat yang termaktup dalam bahasa kritikan pasti jauh beda dengan bahasa-bahasa yang terkandung dalam bahasa penghinaan dan semua insan di muka bumi ini memahaminya, kecuali orang bodoh.
Tapi bagi mereka-mereka yang sudah pernah mengecap pendidikan, pendidikan yang tinggi lagi, mengaku elite dan negarawan lagi, pemahaman mereka so pasti ngelotok tentang tentang kosa kata dimaksud.
Namun kenapa mereka itu pura-pura tidak alergi mendengar kalimat penghinaan bahkan melontarkan protes kepada negeri ini buat apa dilahirkan pasal penghukuman kepada siapa saja yang menghina Presiden.
Biarin saja dihina, wong pejabat dan kepala negara wajib bertelinga tipis dan harus siap diapain-pun. Pendapat ini juga tidak sepenuhnya benar, Bertelinga tipis itu sejatinya bukan terhadap penghinaan, akan tetapi terhadap kritikan atas kebijakan sang pejabat.
Jika kebijakan dikritik, kan bisa sesegera itu diperbaiki. Tapi jika penghinaan dilontarkan, apanya yang diperbaiki.
Ibu Kandung Jokowi
Sebut saja misalnya, ibu kandung Presiden Jokowi baru saja wafat, jenazah belum dikebumikan hinaan demi hinaan sudah bermunculan. Ada yag mengatakan yang meninggal itu bukan ibu Jokowi sebab ibu kandungnya sudah lama meninggal. Jadi yang meninggal barusan adalah ibu palsu.
Kita mau tanya para elite dulu, kalimat ini penghinaan atau kritikan. Kalau penghinaan, bisakah kita menerima itu dengan telinga tipis. Kalau penulis digitukan, mungkin tidak perlu menerbitkan pasal, tapi cari si penghina kalau sudah ketemu, colok mulutnya dengan bambu runcing dan buang kelaut. Selesai. Tak perlu pakai pasal, ribet.
Tapi jika pada tata cara pemakaman ada yang mengkritik, ya itu wajar. Mungkin ditinjau dari adat kebiasaan, dari tata negara, dari kepentingan tetangga dan lain sebagainya karena tidak mungkin sebuah acara dapat memuaskan keinginan semua orang yang menyaksikan. Pasti ada yang kecolongan.
Tapi jika tata acara yang kurang pas dengan kebiasaan misalnya, bisa kita perbaiki di kemudian hari dan kita kumpulkan seluruh panitia membenahinya. Tapi kalau ibu saya itu dihina, apa kita diam. Tentu tidak kan coy…
Perlu juga rasanya diperhatikan kalau presiden itu adalah simbol sebuah negara , kebanggaan sebuah bangsa yang wajib dijaga semua elemen. Semua warga wajib menjaga martabat kepala negaranya, bukan malah menghina. Sekali lagi bukan menghina, tapi mengkritik silakan bahkan penulis pikir, Presiden sekalipun menunggu kritikan karena dia sendiri bisa luput dari lajur-lajur aturan yang sudah diaturkan. Benar gak bro…
Jangan pula disebut kalau Jokowi menyalahgunakan hukum dengan rencana hukuman untuk penghinaan Presiden dengan alasan Indonesia adalah negara hukum yang demokratis.
Yang Ini Betul
Jangan sampai hukum menjadi alat kekuasaan yang membungkam kritik kepada penyelenggaran negara. Rakyat juga berhak menilai presiden dan para penjabat negara karena digaji dari uang rakyat.
Nah pendapat ini betul. Yang tak benar adalah jika negeri ini membiarkan para penghina bebas melakukan penghinaan kepada kepala negara dan pejabat dalam bentuk apapun dan tidak akan dijamah hukum. Begitu mas bro…
Nah, jangankan para pejabat, para elite yang protes dengan lahirnya pasal ini, jika anda dan keluarga anda atau ibu kandung anda dihina, anda mau menerimanya dengan telinga yang tipis? (penulis adalah seorang wartawan tinggal di Jakarta)