Anak Biologis Secara Yuridis Dipungkiri
Oleh: Marto Tobing

Ilustrasi
DUA puluh lima tahun silam, tepatnya 27 Januari 1987 seorang pria dengan wajah cerah mendatangi Rumah Sakit Bersalin Budi Kemuliaan di Tanah Abang Jakarta Pusat. Maksud kedatangannya saat itu, ingin melihat anaknya yang baru sehari lahir. Di boks tempat bayinya yang sedang tidur nyenyak itu, di balik ruangan kaca pembatas, terbaca tulisan nama isterinya lalu dia simpulkan bayi yang sedang lelap itu pasti anaknya lalu dia nyelonong masuk.
“Pak…mau kemana..?” hardik seorang suster menghalangi langkahnya. “Mau melihat anak saya Bu..,” jawab pria itu sambil menunjuk ke arah boks sang orok.
“Pak..maaf, anak bapak nggak ada di sini, yang bapak tunjuk itu anaknya bu Endang yang melahirkan. Setahu saya, hanya Tuhan dan bu Endang yang tahu pasti siapa ayah kandung bayinya,” ujar suster seraya mempersilahkan pria itu duduk di ruang tunggu.
Beberapa menit menunggu, suster mengkonfirmasi keberadaan pria itu, oleh Ny. Endang membenarkan bahwa itu adalah suaminya, ayah kandung bayi yang baru dia lahirkan. Saat itu juga suster pun mempersilahkan sang ayah menjenguk bayi pertamanya yang masih tidur lelap. “Trimakasih suster,” kata pria itu sebagai ungkapan rasa bahagia.
Namun, kebahagiaan yang dirasakan Ny. Endang bersama suaminya itu tidak terbercak setitik pun bagi kehidupan Machica Mochtar (MM). Selama 12 tahun berjuang agar Moerdiono (Moer) mengakui Muhammad Iqbal Ramadhan (MIR) sebagai anak biologisnya, namun mantan Mensesneg di era Presiden Suharto itu tetap mungkir. Bahkan MM siapkan anaknya untuk test DNA sebagai bukti adanya hubungan darah Moer dengan MIR juga dihindari sang “ayah”.
Secara de facto (fakta) keberadaan MIR lahir atas hubungan biologis MM dengan Moer. Jadi MIR adalah anak biologis. Namun secara de jure (hukum) keberadaan MIR lahir di luar nikah. Akibatnya nilai kemanusiaan menjadi tidak manusiawi, 12 tahun MIR masih bertanya siapa bapaknya.
Begitu pun, saat Moer dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, MM tampak bersama anaknya MIR berbusana hitam, ikuti upacara militer pelepasan ke alam baka. Pria remaja itu pun merundukkan kepala pada sang ayah yang tak mengakui kehadirannya hingga ke liang lahat.
Namun, angin surga masih terhembus dari Mahkamah Konstitusi (MK). Putusan MK atas gugatan MM, Jum’at lalu (17/2) dikabulkan sehingga MIR mendapatkan hak keperdataannya sebagai anak. Ketentuan pasal 43 ayat 1 UU No.1 tahun 1974 yang menyebutkan anak diluar nikah hanya memiliki hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya, dinyatakan MK sangat bertentangan dengan UUD 1945 dan hak azasi manusia (HAM).
Namun, putusan MK itu dinyatakan OC. Kaligis selaku kuasa hukum keluarga almarhum Moer, tidak sah. Alasannya, menurut Kaligis, karena MM memberikan identitas palsu pada saat mengajukan permohonan pengujian ke MA atas pasal 43 ayat (1) UU No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
Sebab berdasarkan putusan Pengadilan Agama (PA) Tigaraksa tahun 2008 dengan tegas menolak adanya pernikahan antara MM dengan almarhum Moer. “MM telah memberikan keterangan palsu kepada MK karena putusan MK tersebut dijatuhkan berdasarkan fakta-fakta dan bukti palsu,” ujar Kaligis menanggapi Tubas di Jakarta, Rabu lalu.
Didampingi keluarga Moer, Kaligis memberikan klarifikasi atas putusan MK No. 46/PUU-VIII/2010 perihal pengujian UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan yang diajukan MM selaku pemohon.
Kaligis mengatakan pada 18 Januari 2008, MM mengajukan Isbath Nikah ke PA Tigaraksa ditolak oleh majelis hakim melalui putusan No. 126/PDT/2008/PA.Tgrs ter-tgl 25 Maret 2008. “Dengan demikian tidak pernah ada pernikahan antara MM dengan almarhum Moer,” ujar Kaligis. Dikatakan, berdasarkan akta kelahiran MIR dari RS Bunda Jakarta 8 Februari 1996 disebutkan, ayah MIR bukan almarhum Moer. “Sesuai dengan surat kelahiran, MIR anak dari Agus Ibrahim,” tandas Kaligis.
Menurut Kaligis, jika MM sewaktu mengajukan gugatannya ke MK melampirkan putusan PA Tigaraksa yang menolak perkawinan sirinya dengan Moer, yakin MK pasti menolak gugatan MM. Kaligis juga menyesalkan MK tidak memanggil keluarga Moer sebagai saksi dan sebagai pihak.
“Kalau dipanggil sebagai saksi, kita akan sodorkan putusan PA Tigaraksa yang menolak Isbath Nikah yang diajukan oleh MM,” ujar Kaligis. Menurut Kaligis, atas putusan MK berlaku asas legalitas sesuai pasal 58 UU No.24 tahun 2003 tentang MK juncto pasal 1 KUHP sehingga putusan MK itu tidak mengikat bagi anak yang lahir sebelum dikeluarkannya putusan MK tersebut. ***