13.000 Teken Penolakan Revisi UU TNI, Masuknya TNI Aktif ke Lembaga Peradilan Pintu Masuk Dwifungsi Militer
JAKARTA, (tubasmedia.com) – DPR menargetkan RUU TNI akan disahkan dalam rapat paripurna pada Kamis, 20 Maret 2025 meski mendapat penolakan masyarakat.
Koalisi Masyarakat Sipil yang terdiri dari sejumlah tokoh dan aktivitas menggagas petisi daring untuk menyatakan sikap penolakan kembalinya dwifungsi militer melalui revisi Undang-undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI atau UU TNI.
Petisi diunggah melalui situs change.org dengan judul Tolak Kembalinya Dwifungsi melalui Revisi UU TNI. Hingga Selasa (18/3/2025) pukul 09.30 WIB, petisi menolak RUU TNI telah ditandatangani sebanyak 13.243 orang.
Sejumlah tokoh dan aktivis yang mengeluarkan petisi antara lain Nursyahbani Katjasungkana, Usman Hamid, Pdt. Ronald Richard Tapilatu, Rafendi Djamin, Al A’raf, Pdt. Penrad Siagian dan KH Rakhmad Zailani Kiki.
Petisi penolakan RUU TNI menjelaskan peluang RUU TNI mengembalikan Dwifungsi TNI. Penempatan personel militer aktif pada jabatan-jabatan sipil dinilai sebagai pintu masuk mengembalikan Dwifungsi TNI.
Banyaknya jabatan sipil yang dapat diisi personel TNI aktif atau tidak mengundurkan diri dianggap tidak sesuai prinsip profesionalisme TNI. Bahkan, pengisian jabatan di kementerian dan lembaga juga berisiko memunculkan masalah, seperti eksklusi sipil dari jabatan sipil, menguatkan dominasi militer di ranah sipil dan memicu terjadinya kebijakan maupun loyalitas ganda.
Bagian lain dalam agenda RUU TNI yang tak kalah disorot adalah penempatan personel TNI aktif di Kejaksaan Agung (Kejagung) hingga Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).
TNI dianggap alat pertahanan negara untuk memerangi musuh dari negara lain, sementara Kejaksaan Agung merupakan lembaga penegak hukum nasional.
Penempatan prajurit TNI aktif di Kejaksaan Agung dianggap tidak tepat. Demikian juga dengan penempatan militer aktif di Kementerian Kelautan dan Perikanan adalah kekeliruan dan salah satu cerminan dwifungsi TNI.
Koalisi Masyarakat Sipil justru mengkhawatirkan rancangan UU TNI itu akan melemahkan profesionalisme militer sebagai alat pertahanan negara. Koalisi berpendapat, seharusnya DPR dan pemerintah lebih mendorong agenda reformasi peradilan militer.
Koalisi menilai, revisi UU Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer lebih penting untuk dibahas ketimbang RUU TNI. (sabar)