Site icon TubasMedia.com

Transaksi Politik Busuk Revisi UU Desa

Loading

JAKARTA, (tubasmedia.com) – Kongres Rakyat Nasional (Kornas) akan mengajukan judicial review UU Desa kepada Mahkamah Konstitusi (MK), jika revisi UU Desa tetap dilanjutkan berdasarkan kepentingan transaksi politik pragmatis dan oportunis.’

’Kami akan terus mengawal proses revisi UU Desa hingga akhir,’’ kata Presidium Kornas, Sutrisno Pangaribuan kepada tubasmedia.com, Selasa  di Jakarta.

Sebelumnya dijelaskan bahwa Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (Apdesi) menggelar “aksi turun ke jalan” di depan Gedung MPR/DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (5/7/2023 ).

Para Kades itu sepakat untuk menghabisi suara parpol yang menolak masa perpanjangan jabatan kades dari 6 menjadi 9 tahun di pemilu 2024.

“Suara Parpol di Pemilu 2024 nanti yang tidak mendukung masa jabatan kades jadi 9 tahun akan kami habisi,” kata Sutrisno mengutip ucapan Kades Tentenan Timur, Larangan, Pamekasan, Farid Afandi, beberapa waktu lalu.

Pada aksi terbaru itu, para kades mendorong revisi Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa disahkan sebelum Pilpres 2024. “Pokoknya sebelum pilpres aja harapan kita,” kata Sutrisno mengutip Ketua Apdesi, Surtawijaya.

Farid mengklaim seluruh kades di Madura yang hadir demo ke DPR di Senayan Jakarta sekitar 800 kades. Menurut Farid kehadiran para kades tersebut sebagai bukti bahwa kades memiliki pengaruh besar terhadap suara dan keberadaan parpol di Pemilu 2024.

Respon Kilat DPR Atas Ancaman Kades

Atas ancama itu, DPR segera melakukan kilat. Rapat Pleno Badan Legislasi (Baleg) DPR sendiri telah  menyetujui Rancangan Undang-Undang (RUU) Perubahan Kedua UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa untuk menjadi RUU usulan inisiatif DPR di Ruang Rapat Baleg DPR, Jakarta, Senin (3/7/2023).

Hasil rapat kilat untuk mengantisipasi ancaman para Kades itu, Ketua Badan Legislasi DPR Supratman Andi Agtas menyampaikan penyusunan naskah akademik (NA) dan RUU yang dilakukan Panja guna mendukung perekembangan desa agar menjadi kuat, maju, mandiri dan demokratis.

Menurut Sutrisno, tercantum dalam belasan pasal dalam RUU yang disetujui DPR untuk segera direvisi demi meredam amarah para Kades yang berdampak kepada kenyamanan para anggota DPR

Revisi UU Desa Tidak Mendesak

Atas dinamika politik terkait kepentingan pragmatis dan oportunis merevisi UU Desa tersebut, Sutrisno menyampaikan pandangan dan sikap sebagai berikut:

Pertama, tidak terdapat hal ikhwal kegentingan yang memaksa untuk melakukan revisi UU Desa saat ini. Maka revisi UU Desa yang diinisiasi DPR tersebut sebagai transaksi politik paling busuk pasca reformasi. Revisi UU Desa tidak terkait kebutuhan dan kepentingan rakyat. Namun hanya transaksi politik jangka pendek menjelang Pemilu 2024.

Kedua, revisi UU Desa yang sudah dijadikan sebagai RUU inisiatif DPR adalah reaksi ketakutan parpol atas ancaman para kades terkait kepentingan pengamanan suara pada Pemilu 2024. Ancaman para kades akan menghabisi suara parpol yang tidak mendukung revisi UU Desa memaksa parpol segera bertindak.

DPR langsung patuh dan jinak kepada para kades dan mewujudkan revisi kilat UU Desa sebelum Pemilu 2024 meski tidak termasuk bagian program legislasi nasional (prolegnas) 2023.

Ketiga, ancaman akan menghabisi suara parpol dalam Pemilu seharusnya dimaknai sebagai tindakan mengganggu Pemilu. Ancaman para kades tersebut dapat dijadikan sebagai bukti permulaan adanya niat menghasut orang lain untuk memilih atau tidak memilih parpol sesuai kepentingan politik para kades. Para kades yang mengancam justru harus diselidiki oleh aparat penegak hukum, bukan diberi kompensasi revisi UU Desa.

Keempat, hak suara setiap warga negara dijamin Konstitusi RI secara bebas dan mandiri. Tidak ada pihak yang dengan kekuasaan jabatannya dibenarkan cawe- cawe terhadap pemilih untuk memilih atau tidak memilih peserta Pemilu. Maka parpol seharusnya tidak terpengaruh dengan ancaman para kades. Jika ditemukan ada kades yang melakukan tindakan mempengaruhi proses Pemilu berupa ajakan, hasutan justru parpol  harus melakukan upaya hukum.

Penghianatan

Kelima, revisi UU Desa terkait perubahan waktu dari 6 tahun menjadi 9 tahun dalam 1 periode adalah tindakan penghianatan terhadap reformasi. Pada masa orde baru, 1 periode kades hanya 8 tahun. Pada masa itu terjadi kejenuhan kepemimpinan di desa, demokrasi tidak bertumbuh karena jarak antara satu pilkades ke pilkades berikutnya terlalu lama. Maka semua parpol yang mendukung perubahan waktu dari 6 tahun menjadi 9 tahun adalah parpol anti reformasi dan  semangatnya lebih buruk dari orde baru.

Keenam, konflik yang terjadi pasca pilkades yang dijadikan sebagai salah satu alasan revisi UU Desa terjadi akibat pengaruh buruk parpol. Politik uang dalam pilkades terjadi karena sebagai bagian dari kekuasaan eksekutif, jabatan kades dianggap strategis untuk kepentingan parpol.

Ketujuh, Indonesia sedang mengalami  defisit politisi yang berkualitas sebagai akibat dari sistem rekrutmen politik yang buruk.  Maka hal ikhwal kegentingan yang memaksa justru revisi paket UU Politik, baik UU Parpol, UU Pemilu, UU Pilkada, termasuk RUU Pemberantasan Politik Uang dalam Pemilu, bukan UU Desa. Sebab sepanjang parpol tidak berubah, maka Indonesia tetap akan mengalami kemunduran demokrasi.

‘’Kornas akan terus mengawal proses revisi UU Desa hingga akhir. Jika revisi UU Desa tetap dilanjutkan berdasarkan kepentingan transaksi politik pragmatis dan oportunis, maka Kornas akan mengajukan judicial review UU Desa kepada Mahkamah Konstitusi,’’ kata Sutrisno. (sabar)

 

Exit mobile version