Tradisi di DIY Diubah Jika Ganggu NKRI

Loading

Laporan: Redaksi

Sri Sultan Hamengku Buwono X

Sri Sultan Hamengku Buwono X

YOGYAKARTA, (Tubas) – Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X menegaskan semua yang telah menjadi kebiasaan di Yogyakarta tidak boleh diubah kecuali telah mengganggu Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

“Kami ingin mengajak segenap pihak berpikir jernih melihat posisi DIY. Apabila pembuat UU ingin mengubah tradisi yang telah mapan, harus mampu menjelaskan yang berlaku selama ini telah mengganggu NKRI,” kata Sultan dalam rapat dengan Komisi II DPR di gedung parlemen, Jakarta, kemarin.

Rapat itu digelar dalam rangka pembahasan Rancangan Undang-Undang Keistimewaan (RUUK) DIY. Hadir mendampingi Sultan, Paku Alam IX.

Pada kesempatan itu Sultan memberikan sembilan catatan terkait RUUK. Pertama, judul RUUK tidak seharusnya menggunakan istilah Provinsi DIY, melainkan DIY. Dalam UU No 3/1950 tentang pembentukan DIY disebutkan DIY setingkat provinsi, tidak sama dengan provinsi.

Kedua, RUUK tidak mencantumkan Pancasila. Itu menjadi ancaman serius. Selanjutnya, penggunaan istilah gubernur utama dan wakil gubernur utama bertentangan dengan UUD 1945. Itu akan menciptakan dualisme.

Keempat, masih terkait dengan nomenklatur gubernur utama dan wakil gubernur utama. Istilah itu berisiko hukum bagi eksistensi keistimewaan DIY. Selanjutnya, perihal peraturan daerah keistimewaan Yogyakarta. Istilah itu meniru pada Nanggroe Aceh Darussalam dan Majelis Rakyat Papua.

Keenam, terkait perbatasan wilayah. Disebutkan di sebelah timur dengan Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Padahal secara riil, juga berbatasan dengan Kabupaten Sukoharjo dan Wonogiri.

Masalah pertanahan dan tata ruang menjadi catatan ketujuh. Disebutkan Sultan dan Paku Alam ditetapkan sebagai badan hukum. Itu tidak sinkron dengan penjelasannya yang menyebutkan kesultanan sebagai badan hukum kebudayaan masih mengacu pada konsep lama pararadya.

Catatan selanjutnya terkait bidang pertanahan. Jika kesultanan dan kadipaten ditetapkan sebagai badan hukum, itu privat atau publik.

Terakhir, Sultan menyoroti penggunaan terminologi pembagian kekuasaan antara DPRD, gubernur, dan wakil gubernur. “Lebih tepat disebut pembagian kewenangan,” katanya. ***

CATEGORIES
TAGS

COMMENTS